-Prihandono Wibowo-
Hari Al Quds yang diperingati
setiap hari Jumat terakhir di bulan Ramadhan merupakan momentum istimewa dalam sejarah
umat Islam modern. Pada hari tersebut, dilakukan demonstrasi massa untuk
mengecam Zionisme serta penjajahan yang dilakukan Zionis Israel terhadap
Palestina. Selain itu, Hari Al Quds juga ditujukan untuk menunjukkan dukungan solidaritas
terhadap rakyat Palestina yang menderita akibat penjajahan oleh Zionis Israel. Dalam
berbagai laporan disebutkan bahwa hari Al Quds diperingati beragam komunitas di
80 negara. Dalam perkembangannya, peringatan hari Al Quds tidak hanya diikuti
oleh kelompok komunitas muslim, namun juga diikuti beragam dari lintas
kepercayaan dan lintas pemikiran politik. Yang menarik, event tahunan
ini kerap diikuti oleh kelompok Yahudi anti-Zionisme, seperti Naturei Karta dan
Jewish Network for Palestine. Meski dari berbagai latar belakang berbeda, di hari
Al Quds beragam kelompok tersebut menyuarakan aspirasi yang sama, yaitu
menentang Zionisme dan penjajahan yang dilakukan rezim Zionis Israel terhadap
Palestina.
Penjajahan oleh Rezim Zionis
Israel
Mengapa
setiap tahun diperingati hari Al Quds ? Tidak lain untuk merespon sejarah
panjang penjajahan Zionis Israel terhadap Palestina. Sejarah Israel, dimulai
dari pendiriannya hingga saat ini, menggambarkan realitas penjajahan di dunia
modern. Terlebih, klaim Zionis untuk mendirikan negara Israel didasarkan atas
beberapa mitos palsu. Mitos-mitos palsu ini kemudian dikonstruksi oleh Zionis untuk
melegitimasi pendirian negara Israel, sekaligus untuk menjustifikasi penjajahan
terhadap masyarakat Arab Palestina hingga saat ini. Roger Garaudy dalam
karyanya The Founding Myths of Israeli Politics, menjelaskan bahwa
kelompok Zionis telah menggunakan mitos “teologis” maupun mitos “historis”
palsu untuk melegitimasi pendirian negara Israel. Misalnya, mitos mengenai “The
Promised Land” ataupun mitos “land without a people for a people without a land.”
Artinya, Zionis mengkonstruksi klaim historis maupun teologis, seolah-olah
mereka memiliki hak secara eksklusif untuk mendirikan negara Israel di tanah
Palestina. Konstruksi berbagai mitos palsu ini menegasikan realita bahwa tanah
Palestina telah ditempati oleh penduduk Arab secara turun temurun selama berabad-abad.
Konstruksi mitos-mitos palsu oleh rezim Zionis tersebut kemudian disertai
dengan tindakan teror, pembunuhan, maupun pengusiran paksa terhadap penduduk
Arab Palestina, demi berdirinya negara Israel.[i]
Ilustrasi penjajahan Zionis Israel juga dikemukakan oleh Ilan Pappe. Akademisi asal Israel tersebut mengungkap fakta bahwa sejak akhir 1947, Zionis Israel telah melakukan operasi “pembersihan etnis” secara sistematis terhadap penduduk Arab Palestina. Opeasi pembersihan etnis dilakukan dalam bentuk penyerbuan kota dan perkampungan, disertai pembunuhan, pengeboman, dan pengusiran paksa penduduk Arab dari tanah Palestina. Terdapat rangkaian pembantaian massal dalam operasi tersebut, seperti peristiwa pembantaian di Ayn el Zaytun, Tantura, dan Dawayima. Operasi ini juga dilakukan disertai dengan penghancuran secara fisik perkampungan penduduk Arab Palestina sekaligus mengusir penduduk Arab dari perkampungan-perkampungan tempat tinggal mereka. Ilan Pappe menyebutkan bahwa lebih dari separuh populasi asli Palestina, sekitar hampir 800.000 penduduk telah diusir, dan 531 desa telah dihancurkan oleh kekuatan Zionis Israel dalam operasi tersebut.[ii] Kelahiran negara Israel ditandai dengan pengusiran paksa penduduk Arab oleh Zinois Israel yang menyebabkan ratusan ribu penduduk Arab eksodus dari tanah Palestina.
Dalam ilustrasi lain, aktivis Ralph
Schoenman dalam karyanya The Hidden History of Zionism memberi banyak contoh
realita kekejaman Israel terhadap penduduk Arab Palestina. Schoenman misalnya mencatat
fakta bahwa di antara tahun 1947 ketika PBB mempartisi Palestina dan 1948 ketika
Israel resmi dideklarasikan, tantara dan milisi Zionis Israel telah merampas 75
% tanah Palestina dan memaksa 780.000 orang Palestina terusir dari negeri
tersebut. Fakta lain yang diungkapkan Schoenman adalah terjadinya pembantaian
massal terhadap penduduk Arab oleh Zionis Israel. Menjelang deklarasi pendirian
negara Israel, terjadi pembantaian penduduk Arab di Deir Yasin pada April 1948.
Pembantaian berlanjut setelah deklarasi pendirian negara Israel, seperti dapat
dilihat pada peristiwa pembantaian Dawayima 1948, Qibya 1953, Kafr Qasim 1956,
Khan Yunis 1956. Schoenman juga mencatat detail data perampasan paksa oleh
Zionis Israel terhadap berbagai properti strategis milik penduduk Arab
Palestina. Selain itu, Schoenman mencatat bahwa menjelang 1954, terdapat
sekitar 250.000 imigran baru Israel tinggal di wilayah perkotaan dimana penduduk
Arab Palestina telah diusir. Yang menarik, dalam konteks politik antar negara, Schoenman
mengutip artikel tulisan Oded Yinon yang diterbitkan oleh World Zionist
Organization. Schoenman menyebutkan bahwa artikel tulisan oleh Oded Yinon-yang
merupakan mantan pegawai senior kementerian Luar Negeri Israel-tersebut, adalah
refleksi pemikiran dari pejabat tinggi militer dan intelijen Israel. Berdasar
tulisan artikel ini, Schoenman membeberkan visi Zionis Israel yang mengidealkan
terpecahnya negara-negara Arab-seperti Syria, Lebanon, Iraq, Mesir-menjadi
negara-negara yang lebih kecil.[iii]
Tulisan Oded Yinon ini pada intinya berisi bahwa untuk survive, Israel
harus menjadi kekuatan “imperial regional” serta memengaruhi pembagian seluruh
kawasan menjadi negara-negara kecil dengan cara membubarkan negara-negara Arab
yang ada. Negara-negara yang kecil ini berlandaskan identitas etnis atau
sektarian.[iv]
Tentu data-data di atas tersebut
hanya sebagian kecil fakta dari realita penjajahan Zionis Israel yang bertahan
hingga kini. Perluasan pemukiman Israel di Tepi Barat, rangkaian pengeboman Gaza
oleh pesawat-pesawat tempur Israel, penembakan rakyat sipil Palestina oleh tentara
Israel, masalah hak kembali jutaan pengungsi Palestina yang belum jelas,
pembatasan mobilitas penduduk Palestina, serta sulitnya rakyat Palestina mengakses
terhadap kebutuhan dasar hidup; adalah sebagian konsekuensi lain dari
penjajahan Zionis Israel yang bertahan hingga saat ini. Tindakan sewenang-wenang
Zionis Israel terkait ekskavasi bawah tanah kompleks Al Aqsha yang dapat
membahayakan kompleks suci tersebut juga memicu kontroversi. Ironisnya, penjajahan
Zionis Israel ini jelas-jelas didukung oleh kekuatan-kekuatan besar dunia. Jika
pada masa lalu, dalam banyak hal, Zionis Israel tertolong oleh kebijakan imperialis
Inggris, kini Amerika Serikat (AS) menjadi pendukung utama bagi Israel.
Akademisi John J. Mearsheimer dan Stephen M. Walt dalam karyanya
berjudul The Israel Lobby and US foreign Policy menjelaskan bagaimana
kuatnya pengaruh lobi-lobi Israel dalam proses pengambilan kebijakan AS
terhadap Israel.[v] Hal
ini sejalan dengan kebijakan AS yang konsisten mendukung Israel dari masa ke
masa. Dalam masa pemerintahan Presiden Obama misalnya, meskipun Obama sempat
mengkritik kebijakan Israel yang memperluas pemukiman Israel di Tepi Barat,
namun pemerintah Obama juga dikenal sebagai pemberi bantuan militer secara
signifikan ke Israel. Terlebih dalam era
Presiden Trump, AS mengeluarkan langkah-langkah yang eksplisit berpihak pada
Zionis Israel. Hal ini dapat dilihat seperti dalam penyataan Trump mengenai
pengakuan Yerusalem sebagai ibukota Israel, pemindahan kedutaan besar AS ke
Yerusalem, serta melanjutkan dukungan bantuan militer yang signifikan bagi
negara Zionis tersebut. Belakangan Trump juga menginisasi Peace to Prosperity: A Vision to Improve the Lives of the
Palestinian and Israeli People. Sebuah
tawaran yang dikatakan Trump sebagai solusi perdamaian bagi masalah
Palestina. Padahal jika dilihat poin-poin tawaran dalam rencana Trump tersebut,
jelas memberikan janji “palsu” nan “semu” bagi terbentuknya negara Palestina
merdeka.
Signifikansi Hari Al Quds
Menyadari masifnya penjajahan Zionis
Israel terhadap Palestina hingga saat ini, diperlukan momentum untuk
membangkitkan semangat perlawanan terhadap Israel secara kolektif. Ayatullah
Khomeini, selaku inisiator Hari Al Quds, saat pengumuman hari tersebut pertama
kali pada 7 Agustus 1979, menekankan pentingnya persatuan umat Islam untuk
memotong tangan negara “penjarah” - yaitu Israel- yang telah mengintensifkan
serangan atas penduduk Palestina. Dalam pernyataannya yang lain, Ayatullah
Khomeini menyatakan bahwa hari Al Quds merupakan hari untuk membangkitkan umat
Islam sehingga umat sadar mengenai potensi kekuatan mereka dalam melawan
bangsa-bangsa penindas. Jika umat Islam bersatu, maka Israel tidak akan dapat
berbuat apa-apa serta kejahatannya akan “tercerabut” dari Masjidil Aqsha. Ayatullah
Khomeini mengilustrasikan jika umat Islam datang bersama dan setiap hari
bersama-sama menuangkan satu ember air, maka Israel akan tersapu oleh banjir. Berkaitan
dengan pentingnya persatuan tersebut, Ayatullah Khomeini juga mengingatkan agar
umat Islam tidak terjebak pada perpecahan internal, karena perpecahan internal
telah menyebabkan Israel mampu menginjak-injak kehormatan kaum muslim. Lebih
luas, Ayatullah Khomeini menyatakan bahwa hari Al Quds bukan hanya hari bagi
umat Islam, tetapi juga merupakan hari bagi kaum yang terampas. Hari al Quds
adalah hari bagi kaum lemah untuk mengkonfrontasi kekuatan-kekuatan bangsa
arogan dan para adikuasa. Dalam pernyataannya yang lain, Ayatullah Khomeini
mengharapkan hari Al Quds dapat menjadi “perintis jalan partai kaum tertindas”
di seluruh dunia untuk bangkit melawan penindas baik dari “Timur” ataupun
“Barat.[vi]
Karena itu, Hari Al Quds bukan
hanya sekedar momen ketika kelompok demonstran meneriakkan kata-kata dukungan terhadap
Palestina dan kata-kata kecaman kepada Zionis Israel. Hari Al Quds, merupakan momen
untuk menunjukkan solidaritas global terhadap rakyat Palestina. Hari Al Quds juga
penting untuk memotivasi masyarakat dunia untuk terlibat dalam aksi-aksi
kemanusiaan menbantu kehidupan rakyat Palestina. Namun hal lebih penting dari
itu, Hari Al Quds adalah momentum untuk menggugah kesadaran kolektif global mengenai
realita masih adanya penjajahan di atas muka bumi. Hari Al Quds adalah simbol
perlawanan kelompok tertindas melawan bangsa-bangsa penindas. Dengan menyadari
realita penjajahan oleh rezim Zionis Israel, kita dapat memahami serta mendukung
beragam upaya perlawanan terhadap rezim Zionis Israel. Diantaranya, kita dapat
menciptakan kontra-narasi terhadap wacana arus utama yang selalu mengidentikkan
pihak lawan Israel sebagai “blok teroris”. Misalnya Israel selalu mempropagandakan
bahwa Republik Islam Iran adalah “negara pensponsor terorisme” karena Iran konsisten
mendukung kelompok-kelompok perlawanan bersenjata Palestina. Atau dalam kasus
lain, kelompok-kelompok perlawanan bersenjata seperti Hamas, Palestinian
Islamic Jihad, dan Hizbullah selalu dipropagandakan sebagai kelompok “teroris.”
Namun sebaliknya dengan momentum Hari Al Quds, didapatkan fakta bahwa dengan segala
kejahatannya, Zionis Israel-lah yang patut dikecam.
[i]
Roger Garaudy. The Founding Myths of Israeli Politics.
[ii]
Illan Pappe. 2006. The Ethbic Cleansing of Palestine. Oneworld.
[iii] Ralph
Schoenman. 1988. Dark History of Zionism. Veritas Press.
[iv] Khalil Nakhleh. 1982. https://ifamericansknew.org/history/zionistplan.html
[v] John J. Mearsheimer, Stephen M. Walt. 2007. The
Israel Lobby and US foreign Policy. Farrar,
Straus and Giroux
[vi] Palestina.
Imam Khomeini. 2009. Jakarta: Zahra Publishing House
*Tulisan telah ditayangkan di http://www.kospy.id/2020/05/hari-al-quds-momentum-revitalisasi.html
Post a Comment