Kekinian ini definisinya 28
Januari 2020, politik hari ini atau politik minggu lalu? Sebenarnya saya agak
bingung dengan maksud politik kekinian ini, namun saya sadar bahwa selalu ada
keinginan untuk memahami apa yang sedang terjadi sekarang ini. Tentu hal ini
penting tapi kita sebagai ilmuan dan calon ilmuwan, bukan wartawan. Perbedaan
antara wartawan dengan ilmuwan dan calon ilmuwan adalah wartawan memiliki
perhatian akan apa yang terjadi sekarang, sedangkan ilmuwan dan calon ilmuwan
berpikir kenapa hari ini seperti ini yang berarti harus mengerti kemarin dan
dilandasi pemahaman yang lebih dalam, karena ada proses-proses sosial yang
menyebabkan hari ini seperti ini. Artinya kita harus dibekali dengan konsep dan
tidak boleh malas untuk berpikir secara konseptual, kalau tidak, kita
sebetulnya cuma mengolah berita saja ketimbang menganalisa. Yang ingin saya
coba lakukan di sini adalah diskusi mengenai politik kekinian, 28 Januari 2020,
tetapi melalui proses-proses fundamental yang menurut saya menyebabkan hari ini
menjadi seperti ini.
Ada Pilpres, ada Pilkada, hal itu
penting, tapi yang lebih penting lagi buat saya ialah kalau dia menang atau dia
kalah dampaknya apa? Ada tidak perbedaan signifikan antara si A menang atau si
B menang. Saya tidak peduli mengenai pribadi-pribadinya, namun yang saya lebih
peduli adalah mereka merepresentasikan kekuatan macam apa? Semacam
aliansi-aliansi dan kepentingan macam apa? Kompetisi atas akses dan sumber daya
yang harus dipelajari ketimbang pribadi-pribadi yang berkompetisi. Jadi, kalau
dari sudut pandang seperti itu, sama sekali tidak mengagetkan ketika Prabowo
bersama Jokowi. Partai bisa cair saja, berubah-ubah aliansinya. Bahkan kalau di
Jakarta mereka (partai) ribut, di daerah mereka satu faksi. Jadi tidak ada
urusan policy atau ideologi, yang ada adalah urusan kepentingan,
kepentingan untuk menjamin akses kepada sumber daya untuk tujuan akumulasi
pribadi, menurut saya itu dasar dari politik Indonesia. Untuk memahami kejadian
sehari-hari, hal tersebut harus selalu ada dibenak kita, itu yang membedakan
kita dari wartawan, tugas kita beda dengan wartawan.
Lalu kemarin rame-rame tentang
Islam, Prabowo dekat dengan umat Islam, lalu sekarang ke mana suara Islam itu?
Yang katanya satu juta umat di Jakarta, sampai dikhawatirkan oleh KPU. Mana kok
mlempem, pemilu selesai hilang. Maknanya apa itu? Kita sebagai ilmuwan
harus mempertanyakan kenapa dia muncul lalu kenapa dia menghilang. Kita didengungkan
dan mendengungkan diri sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia,
memang hebat, saya besar di Orde Baru, sehingga kalau saya ngomong kayak begini
it’s okay, nggak diikuti intel. Buat saya okay saja, saya nulis
di koran sudah nggak disensor lagi, dulu zaman Orba kalau lagi diskusi begini
ada intel dateng, bubar, atau tiba-tiba diskusi tentang olahraga, sekarang tidak
perlu seperti itu lagi. Tapi demokrasinya, walaupun kepercayaan terhadap
demokrasi masih tinggi di Indonesia, tetapi di baliknya ada kekecewaan, menurut
saya penting. Yang beruntung ya hanya orang-orang itu saja, yang marjinal
(terpinggirkan) yang tetap marjinal ini artinya apa? Jangan lupa bahwa
demokrasi ini bisa dipahami dari berbagai segi, ada pemilihan umum yang kurang
lebih bebas dan transparan, bisa dibilang demokratis. Kultur Electoral
Democracy sudah kuat di Indonesia dan mungkin akan susah dilunturkan di
Indonesia karena sudah 20 tahun punya tradisi itu, walaupun kita tidak perlu takkabur,
lihat aja di Thailand, kudeta militer. Padahal banyak yang bilang Thailand itu
sudah maju demokrasinya dibanding Indonesia, eh ternyata ada kudeta
militer juga.
Kalau kita bicara secara luas,
hak-hak yang diasosiasikan yang didengungkan dengan demokrasi ternyata tidak
tercapai, semisal hak asasi manusia, nyatanya sekali Undang-Undang yang keluar
justru menginjak hak asasi manusia, menginjak hak asasi minoritas, entah agama,
etnis, orientasi seksual. Banyak peraturan-peraturan yang di pusat maupun
daerah yang mengurangi hak-hak perempuan menurut saya. Kalau demokrasi, benar
kita demokrasi, tapi demokrasi yang iliberal. Iliberal dalam arti hak-hak
liberal yang diasosiasikan dengan demokrasi masih agak lemah, yang kuat hanya
aspek elektoralnya, yang itu terjadi dalam konteks di mana terjadi ketimpangan
sosial ekonomi yang hebat. Walaupun gini rasio, indeks yang dipakai ekonom,
kita timpang. Rasio itu meskipun ada gunanya, banyak juga kekurangannya. Di
sini ilmuwan politik harus bisa berdebat dengan para ekonom, jadi mesti melihat
ekonomi juga. Mereka tidak melihat yang 1% atau 0,1% (penduduk) yang menjadi
akumulasi kekayaan yang tidak terekam oleh gini rasio. Kalau kita (ilmuwan
politik) meneliti yang 1% itu menguasai kekayaan separuh atau hampir separuh
dari kekayaan Indonesia. Saya bilang itu kenapa? Karena adalah suatu mitos
bahwa demokrasi itu menghasilkan pemerataan, termasuk pemerataan hak, tidak.
Yang berhak adalah yang mempunyai akses, yang mempunyai akses adalah yang punya
duit.
Jadi, semakin timpang, maka yang
di atas semakin punya akses, yang di luar 1% itu semakin kecil aksesnya, jadi
kenapa kita mesti heran jika pada era demokrasi masih dikuasai orang-orang yang
itu-itu juga? Kalau kita berpikir analitis, tidak hanya hari ini, proses ini
berlangsung semenjak akhir tahun 1980an, semenjak akhir orde baru, awal
reformasi ada peningkatan kontinyu pada ketidakmerataan dan ketimpangan di
Indonesia. Ahli politik harus mengerti ekonomi. Di dalam konteks seperti itu,
kita punya institusi demokrasi seperti partai dan DPR yang berkompetisi pada
akses. Kan aneh ketika kita punya institusi-institusi itu tapi akses masih
dipegang orang-orang kaya saja. Apalagi kalau jadi bupati harus keluar berapa
puluh miliar, mau jadi walikota berapa ratus juta, berarti kan yang terwakili
dalam sistem demokrasi itu sebetulnya bukan masyarakat secara rata, mungkin
saja kita terwakili atau tidak sama sekali, tetapi dalam perjalanan politik di
antara pemilu, yang punya akses itu yang menguasai segala institusi-institusi
demokrasi itu. Jadi tidak perlu heran, yang saya heran itu kenapa orang heran.
Ada dua konsep yang bisa dipakai,
pertama, konsep oligarki, intinya kita memahami bahwa di zaman orba muncul oligarki
pada dasarnya adalah semacam relasi kekuasaan yang sifatnya struktural, kedua, fusion
of interest antara political bureaucracy dan big business
karena di masa Orba memang hubungan antara dan bisnis sedemikian rupa sehingga
birokrat bertansformasi menjadi kapitalis dengan sangat mudah. Dan pengusaha
tidak bisa maju tanpa ada akses kepada negara, terutama, negara dalam elemen
yang paling dominannya, yakni alamat di Jalan Cendana. Dengan adanya reformasi,
oligarki itu tidak hancur, yang hancur adalah sistem kelembagaan Orde Baru yang
otoritarian-sentralistis, digantikan demokrasi yang terdesentralisasi, tapi
kepentingan-kepentingan yang paling dominan adalah kepentingan oligarki, fusion
of interest sifatnya struktural dari atas ke bawah sehingga efeknya juga
terasa di tingkat lokal. Kalau kita bicara tingkat lokal, oligarki memiliki
elemen-elemen yang menopang dia di tingkat lokal. Kalau di zaman dulu, di tingkat
lokal bertugas sebagai preman atau operator politik, mereka naik menjadi bupati
atau pengusaha menengah. Terjadi kenaikan pangkat. Di dalam struktur oligarki
terjadi reproduksi sedemikian rupa sehingga oligarki baru yang muncul
mencerminkan kepentingan yang sama, kepentingan oligarki. Mereka itu yang
mendominasi. Kalau bebas dari oligarki nggak akan menang karena yang punya
akses ya oligarki.
Lalu tentang Islam, saya
mengembangkan konsep populisme Islam yang membandingkan Indonesia, Turki, dan
Mesir yang bukunya sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Di dalam buku
itu, saya melibatkan diri dalam perdebatan teoritis tentang populisme dengan
variasi-variasinya. Apa beda populisme Islam dengan yang konvensional?
Populisme konvensional intinya ada masyarakat luas yang dianggap baik-baik yang
dieksploitasi terus melawan segelintir elit yang rakus dan jahat, itulah narasi
populisme, lalu massa ini menyatunya lewat diskursus yang mengedepankan konsep the
pople “rakyat” atau “wong cilik”. Jadi, orang yang tidak menjadi bagian dari
elite merasa bahwa meskipun kita ini berbeda-beda, kita bagian dari suatu massa
besar, tipu juga sih sebenarnya, karena the people itu terdiri dari
bermacam-macam kepentingan yang mungkin saja saling bertentangan, namun yang
saya sebut dengan suspension of difference, penundaan perbedaan.
Populisme Islam bedanya, dasarnya
bukanlah the people tapi the ummah. Umat ini disatukan oleh
kepercayaan atau agama yang sama yang mempunyai cultural preferences yang
sama, lalu juga mempunyai persepsi yang sama bahwa mereka orang bijak, bermoral
dan semenjak zaman kolonial dieksploitasi terus oleh Orba, Cina, dll. Ada self
narratives dieksploitasi. Saya berargumentasi bahwa di antara tiga negara,
Indonesia, Turki, dan Mesir, Islamic populism di Indonesia adalah yang
paling lemah, yang paling kuat adalah di Turki, dan yang menengah ada di Mesir.
Salah satu alasannya adalah bahwa tidak ada borjuasi Islam besar di Indonesia.
Di Turki ada banyak borjuasi Islam besar dan di Mesir sedang dalam pembentukan
sebelum dihancurkan. Tidak ada organisasi yang bisa mengklaim monopoli
representasi terhadap umat secara legitimate. Di Turki ada AKP, di Mesir
ada Ikhwanul Muslimin, di Indonesia nggak ada. NU dan Muhammadiyah hanya klaim
keanggotaannya saja yang besar, tapi kemampuan untuk memaksakan disiplin organisasinya
tidak ada. Afiliasi organisasi tidak diterjemahkan ke dalam disiplin politik.
Terjadilah pengarusutamaan pemikiran konservatif yang merupakan hasil dari
frustasi akan ketimpangan-ketimpangan sosial tersebut. Jadi, massa serasa
dibohongin, tapi nggak tahu dibohongin siapa, pokoknya dunia ini bohong, lalu
mencari siapa yang tidak bohong, ya ustad-ustad yang keras itulah.
Lalu ada permasalahan bonus
demografi yang menurut saya complete and utter full bullshit yang pada
dasarnya adalah bahwa para pemuda yang surplus akan mempunyai kemampuan untuk
menopang orang yang tidak produktif, tapi kan asumsinya para pemuda ini
memiliki pekerjaan semua, kalau nggak punya pekerjaan atau pekerjaannya rentan
bagaimana? Yang terjadi malah potensi buat letupan-letupan sosial. Populisme
Islam ini karena tidak punya kekuatan seperti di Turki dan Mesir, maka tidak
punya self-autonomy dan harus beraliansi dengan kekuatan oligarki.
Makanya kalau faksi oligarki membutuhkan dukungan akan datang ke kelompok
Islam tadi, kalau sudah mendapatkan yang diinginkan akan ditinggal, nanti lima
tahun lagi datang. Solidaritas umat tidak bisa dibina melalui kebijakan sosial
dari organisasi-organisasi Islam yang ada di Indonesia. Karena tidak bisa
dibina melalui kebijakan sosial maka dibina melalui kontroversi.
Sangat keliru apabila politik di
Indonesia adalah antarpartai, adalah antara ideologi-ideologi yang berbeda,
antara visi dan kebijaksanaan masyarakat yang berbeda. Bukan soal policy
dan ideologi, tapi masalah akses pada ekonomi. Yang benar adalah politik di
Indonesia adalah antara faksi-faksi oligarki yang komposisinya juga cair dan
bisa berubah, ini mencerminkan perubahan struktur oligarki dari Orba sampai
pascareformasi. Yang dulu bercorak sentralistis sekarang terdesentralisasi di
daerah-daerah, tapi tetap mencerminkan kepentingan oligarki yang 1% yang
menguasai 50% kekayaan Indonesia. Faktor-faktor pendorong dari kelompok
oligarki ini adalah untuk akumulasi kapital dan akses kepada sumber daya
politik menjadi pintu masuk untuk menguasai akses pada sumber daya lainnya.
Terima Kasih.
-------------------------------------------------------
Disampaikan oleh Vedi R. Hadiz dalam diskusi "Politik Indonesia Kekinian" di Ruang Adi Sukadana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga pada tanggal 28 Januari 2020.
Post a Comment