Pada tanggal 18 Januari 2020, C-ERSS bersama STIGMA dan Circle of Humanitarian Studies menyelenggarakan diskusi bertajuk How The World Work: Qasim Sulaimani dan Metanarasi Geopolitik Timur Tengah. Dalam diskusi yang diselenggarakan di De-Lisa Rumah Café tersebut, C-ERSS diwakili oleh koordinator kajian studi keamanan yaitu Nadif, sedangkan STIGMA dan Circle of Humanitarian Studies masing-masing diwakili oleh Faisal dan Radix WP. Diskusi tersebut diwarnai perbedaan arah pandang ketiga pembicara dalam isu tersebut.
Radix WP misalnya, menyatakan bahwa serangan terhadap Sulaimanai didasari oleh pertimbangan logis untuk mengamakan kepentingan Amerika Serikat (AS) di Timur Tengah. Kepentingan ini terutama berkaitan dengan peristiwa pengepungan massa simpatisan al-Hashd al-Shaabi terhadap kedutaan besar AS di Irak selama awal Januari 2020. Ditengarai oleh pemerintah AS, bahwa Qasim Sulaimani telah memobilisasi massa dalam peristiwa pengepungan tersebut yang berpotensi membahayakan keberadaan kedutaan besar AS di Irak. Padahal dalam memori pengambil kebijakan AS, terdapat catatan kelam dimana sekitar 7 tahun lalu, kedutaan AS di Libya diserang oleh milisi yang menyebabkan duta besar AS tewas. Selain itu, Publik AS juga tidak dapat melupakan peristiwa penyerangan kedutaan besar AS di Iran pada masa awal revolusi Islam Iran. Karena itu, penyerangan terhadap Sulaimani merupakan langkah logis untuk mencegah tindakan lanjutan Qasim Sulaimani yang membahayakan kepentingan AS di Irak. Serangan terhadap Sulaimani akan memberikan perdamaian di Timur Tengah karena Iran telah kehilangan “arsitek” mobilisasi kekuatan milisi pro-Iran di Timur Tengah. Radix WP juga berpendapat bahwa pasca-serangan Qasim Sulaimani, kondisi akan kembali ke status quo. Dimana AS tidak tertarik untuk melakukan serangan balasan, sedangkan di sisi lain, Iran tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk membalas tindakan AS. Adapun serangan balasan Iran terhadap pengkalan militer AS di Irak merupakan “sandiwara” untuk memuaskan kelompok “garis keras” di dalam Iran.
Pandangan berbeda diungkapkan Faisal dari STIGMA. Faisal berpendapat bahwa penyerangan terhadap Sulaimani merupakan pelanggaran berat dalam nilai-nilai internasional. Alasannya, Sulaimani datang ke Irak sebagai kunjungan resmi kenegaraan. Sulaimani bertindak sebagai pejabat resmi negara Iran yang diundang secara resmi pula oleh pemerintah Irak dalam konteks pembicaraan deeskalasi dengan Arab Saudi. Selain itu, serangan AS ini juga melanggar kedaulatan Irak. Hal ini karena serangan AS turut menewaskan Abu Mahdi al Muhandis sebagai pejabat tinggi al-Hashd al-Shaab yang telah diintegrasikan ke dalam struktur resmi keamanan Irak. Selain itu, serangan juga dilakukan di wilayah Irak yang merupakan sebuah negara berdaulat. Selain itu, dalam berbagai laporan yang kredibel, sebenarnya AS telah berulang kali memiliki rencana plot pembunuhan terhadap Sulaimani jauh sebelum peristiwa serangan tersebut. AS juga memiliki rencana menyerang al-Hashd al-Shaab sejak Oktober 2019. Faisal juga berpandangan bahwa Sulaimani bukan merupakan arsitek terorisme sebagaimana dituduhkan AS. Sebaliknya, Sulaimani merupakan merupakan “pahlawan” bagi banyak pihak di Timur Tengah, karena berhasil mempersatukan berbagai kelompok-kelompok perlawanan terhadap penindasan. Tindakan Sulaimani merupakan bagian dari kebijakan Iran untuk mendukung kelompok-kelompok perlawanan tersebut. Karena itu, serangan terhadap Sulaimani akan menimbulkan serangan balasan lanjutan terhadap AS di kawasan Timur Tengah. Serangan balasan tersebut dapat berupa serangan sporadic maupun terorganisir. Faisal juga menegaskan bahwa serangan balasan terhadap markas militer AS di Irak bukan “sandiwara”. Hal ini karena Iran berhasil menyerang pangkalan militer AS terbesar di Irak yang telah dibangun dengan dana miliaran Dollar dan disokong dengan teknologi militer yang canggih. Selain itu, serangan balasan Iran berhasil menimbulkan korban terluka di puluhan tentara AS di Irak. Serangan balasan tersebut juga baru langkah awal pembalasan Iran terhadap AS di kawasan Timur Tengah.
Sedangkan
Nadif dari C-ERSS berpandangan bahwa AS pada masa-masa pemerintahan sebelum pemerintahan Trump, selalu berhati-hati mengambil langkah militer di Timur Tengah, khususnya yang berkaitan dengan Iran. Bahkan ketika terjadi perang Irak 2003, AS mengambil langkah yang cenderung hati-hati dengan Iran. Namun saat ini, AS di bawah pemerintahan Trump, mengambil langkah “ekstrim” di Timur Tengah, termasuk dalam salah satunya membunuh Sulaimani yang merupakan Jenderal yang disegani di Iran dan Timur Tengah. Langkah AS ini melanggar “garis merah” yang tidak pernah diambil pemerintahan presiden-presiden AS sebelumnya karena dapat meningkatkan eskalasi regional Timur Tengah. Dalam konteks serangan terhadap Sulaimani ini, Trump ditawari opsi, mulai dari soft hingga ekstrim untuk menyikapi rangkaian kejadian di Timur Tengah beberapa akhir ini termasuk menyikapi rangkaian penyerangan terhadap kedubes AS. Trump sendiri akhirnya memilih opsi yang ekstrim yaitu membunuh Qassem Sulaimani. Namun kebijakan ini juga tidak sesuai dengan norma-norma internasional. dimana AS sendiri sebelumnya tidak pernah mendeklarasikan perang terhadap Iran. Selain itu, pengakuan terang-terangan Presiden Trump dalam serangan terhadap jenderal sebuah negara tersebut merupakan hal yang tidak pernah dilakukan preiden-presiden AS sebelumnya. Nadif berpendapat bahwa langkah Iran yang berencana membawa hal ini ke pengadilan internasional merupakan langkah baik. Rencana ini signifikan untuk menunjukkan dunia bahwa AS memang penjahat perang. Peristiwa ini dapat menunjukkan bukti nyata kejahatan perang AS, karena sebelumnya kejahatan perang hanya ditunjukkan dalam melalui berbagai proxy di berbagai medan perang.
Post a Comment