![]() |
Sumber Gambar: Kompas.com/GARRY ANDREW LOTULUNG |
Oleh: Kate
Grealy
(Kandidat PhD di Department of
Political and Social Change, Australian National Universit.
Penelitiannya berfokus pada pengaruh
kebijakan pencegahan terorisme di Indonesia)
Penargetan ‘ekstremisme Islam’ untuk tujuan keamanan nasional telah lama menjadi area konsensus bipartisan yang aman di Indonesia—seperti di kebanyakan negara. Memberi label pada suatu kelompok atau individu sebagai ‘radikal’ disebut-sebut sebagai tindakan yang sederhana dan obyektif, dilakukan atas nama pencegahan terorisme yang tidak dapat disangkal.
Namun, dalam iklim politik Indonesia saat ini, ‘ekstremisme’
dan ‘radikalisme’ tidak lagi bermakna apa yang seharusnya. Label-label ini
semakin dipolitisasi dan disalahgunakan oleh Negara untuk menekan kritik, lawan
yang kuat, dan membungkam mereka yang dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah.
Ketika disalahgunakan untuk tujuan politik partisan seperti itu, label ini
menambah faktor yang menyebabkan kemunduran demokrasi Indonesia dan mempersulit
tugas pelaksana kebijakan kontraterorisme.
Seperti yang dilaporkan oleh Kantor Berita Reuters,
pemerintah Indonesia baru saja meluncurkan sebuah situs web yang akan
memungkinkan publik untuk melaporkan konten “radikal” yang diunggah oleh
pegawai negeri, sebagai bagian dari “upaya untuk memerangi ideologi Islam garis
keras yang menjalar di dalam pemerintah.”
Menteri Komunikasi dan Informasi Indonesia, Johnny G. Plate,
mengatakan kepada wartawan bahwa maksud dari situs web ini adalah “untuk
menyatukan dan meningkatkan kinerja pegawai negeri kita, serta untuk mendorong
peningkatan nasionalisme.”
Sementara gerakan Islamis populis yang anti-liberal dan
anti-demokrasi adalah kenyataan yang tidak dapat disangkal di Indonesia dan
memang dapat dianggap sebagai ancaman bagi demokrasi, istilah ‘radikal’ dan
‘Islamis’ juga telah digunakan untuk membungkam dan mendiskreditkan pembangkang
dan lawan politik pemerintah. Yang penting, politisasi terminologi kunci ini
menciptakan ketegangan dalam dinamika pencegahan terorisme di Indonesia, untuk
membedakan antara ‘ekstremisme’ dan ‘ekstremisme keras’ adalah tugas yang
semakin menantang.
Latar Belakang: Kemunduran Demokrasi
Bukti bahwa pemerintah Jokowi berubah menjadi otoriter telah
meningkat sejak 2017, hal ini berkontribusi terhadap kemunduran integritas
demokrasi Negara Indonesia. Setelah menjabat, Jokowi menghadapi pembangkangan
dari sektor keamanan yakni kepolisian dan militer. Untuk meredakan persoalan
ini, ia menunjuk loyalis politik untuk memimpin kedua institusi.
Meskipun perubahan-perubahan ini membawa stabilitas di
sektor keamanan negara, mereka juga memberi jalan bagi Jokowi untuk
mengkonsolidasikan kekuasaan dan mempersekusi para pembangkangnya. Kepolisian
dan kejaksanaan agung telah menyelidiki dan mendakwa lawan-lawan politik Jokowi
di bawah hukum yang kejam dan secara umum diketahui mencabut perkara ketika
lawan-lawan menyerah dan terdiam atau beralih pihak.
Tindakan-tindakan ini merupakan bagian dari pola yang lebih
luas di bawah pemerintahan Jokowi di mana lembaga-lembaga negara telah
dipolitisasi untuk menguntungkan Presiden dan sekutunya. Seperti yang
dijelaskan Tom Power, meskipun “politisasi institusi hukum dan penegakan hukum
bukanlah fenomena baru di Indonesia ... upaya pemerintah untuk menggunakan
instrumen hukum dengan cara ini telah menjadi jauh lebih terbuka dan sistematis
di bawah Jokowi.”
Pola politisasi badan-badan keamanan Indonesia ini jelas
memprihatinkan, terutama mengingat bahwa definisi radikalisme tidak jelas dan
termasuk ungkapan dari pandangan anti-nasionalis. Fleksibilitas dan
subjektivitas dari istilah ‘Islamis’ dan ‘ekstrimis’ - seperti yang digunakan
dalam konteks Indonesia - memberi Jokowi ruang lingkup yang berbahaya untuk
membersihkan petugas keamanan dan pegawai negeri sipil sesuka hati.
Menurut bagian FAQ di situs web pelaporan radikalisme
pemerintah, ‘radikal’ dapat merujuk ke konten yang mempromosikan kebencian,
informasi yang menyesatkan, intoleransi, anti-Indonesia atau sentimen
anti-nasionalis. Lebih jauh lagi, narasi politik saat ini menggambarkan
nasionalisme dan komitmen terhadap ideologi nasionalis sebagai pusat untuk
melawan radikalisme Islam.
Siapa yang Radikal?
Beberapa kelompok yang dianggap ‘ekstremis’ termasuk
komunitas Wahhabi dan Salafi dan Hizbut Tahrir (HTI) yang sekarang dilarang.
Perwakilan dari komunitas-komunitas ini telah mengajukan klaim balasan mereka
sendiri, mereka beralasan bahwa pengaitan ekspresi agama tertentu sebagai
bentuk ‘ekstremisme’ yang berisiko lebih merupakan upaya untuk meminggirkan
mereka secara politis daripada mencegah terorisme. Beberapa komunitas ini
berpendapat bahwa mereka sebenarnya siap dan bersemangat untuk bekerja bersama
pasukan kontraterorisme untuk mencegah kekerasan.
Perkembangan ini terjadi bersamaan dengan tren lain: narasi
keamanan nasional yang memandang Pancasila sebagai sesuatu yang sakral dan
membutuhkan perlindungan dengan segala cara, sampai dengan dan termasuk
penggunaan langkah-langkah anti-demokrasi.
Dalam iklim ini, ketika suatu kelompok diberi label sebagai
ancaman keamanan, tindakan luar biasa digunakan terhadapnya untuk
mempertahankan status quo keamanan, sebagaimana dicontohkan oleh pelarangan
HTI.
Namun, Hizbut Tahrir memang organisasi yang pro-Khilafah,
anti-demokrasi, dan anti-Pancasila. Label ‘radikal’ kini semakin banyak
digunakan untuk mendelegitimasi, bukan ‘Islamis’ yang tulen, tetapi beberapa
pengkritik pemerintah.
Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah Indonesia telah
menggunakan label ‘radikal’ untuk membungkam aktivis, individu, gerakan, dan
institusi. Tren ini merendahkan kebebasan berbicara dan berkumpul, menghasilkan
lingkungan yang wacananya beracun dan dikendalikan, yang kesemuanya juga dapat
berkontribusi pada polarisasi politik yang lebih besar.
Sekuritisasi, Polarisasi, dan Konstruksi Ancaman Keamanan
Mengamankan (securitisation)
umat Islam melibatkan penggambaran bentuk-bentuk tertentu dari Islam sebagai
ancaman. Efeknya telah dipelajari secara luas di Barat, namun demikian,
mengamankan Muslim terjadi baik di masyarakat non-Muslim dan mayoritas Muslim.
Di Indonesia, bentuk dan fungsinya berbeda dibanding dengan manifestasinya di
Barat.
Dalam iklim politik saat ini, pengamanan dari ekspresi
keyakinan tertentu di Indonesia telah menjadi kebijakan politik. Terlebih lagi,
selama lima tahun terakhir, organisasi yang tidak memiliki hubungan dengan
terorisme telah diberi label ‘radikal’ dan dengan demikian merupakan ancaman
keamanan.
Seperti yang dijelaskan Aslan dkk, fungsi politik dasar dari
pengamanan atas kelompok-kelompok tertentu adalah untuk membuat mereka berada
di luar komunitas politik dengan mengubah mereka menjadi ancaman. Hal ini
dicapai dengan menarik batasan antara Muslim ‘modern’, ‘moderat’ dan
‘terbelakang’, Muslim yang ‘berbahaya’. Bentuk pembingkaian ini membenarkan dan
menormalkan ‘pengecualian’ Negara dalam tindakan ‘berbasis keamanan’ yang
menargetkan Muslim tertentu.
Konstruksi tujuan-tujuan Islamis sebagai ancaman keamanan
nasional telah memungkinkan langkah-langkah anti-demokrasi menjadi dapat
dibenarkan secara politis. Ini berarti bahwa upaya pemerintah untuk
‘melindungi’ status quo demokratis dari ‘Islamisme’ telah, pada gilirannya,
menjadi ancaman bagi demokrasi itu sendiri. Seperti yang dikemukakan Meitzner
pada tahun 2017, tren-tren ini sedang mengatur demokrasi Indonesia ke dalam
proses dekonsolidasi.
Menodai Pelajar, Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Label Radikal
Protes besar-besaran mengguncang kota-kota di seluruh
Indonesia sepanjang September 2019, sebagian besar didorong oleh kaum muda dan
mahasiswa yang tidak puas. Puluhan ribu mahasiswa dan aktivis Indonesia turun
ke jalan untuk memprotes, antara lain: melemahnya komisi pemberantasan korupsi,
memburuknya kebakaran hutan yang diabaikan oleh pemerintah, militerisasi di
Papua, eksploitasi petani dan pekerja, undang-undang privatisasi yang ganas,
dan kemunduran demokrasi.
Sebagai tanggapan, ada upaya oleh ‘influencer’ pro pemerintah untuk membingkai gerakan tersebut
sebagai anarkis; radikal yang dipengaruhi atau disusupi oleh para Islamis, dan
bahkan berpotensi ditunggangi teroris.
Menteri Keamanan Indonesia menyindir bahwa ada teroris dan
penyelenggara pro-kekhalifahan di antara gerakan mahasiswa. Klaim-klaim ini
didukung oleh influencer nasionalis
di media sosial yang menuduh bahwa protes tersebut adalah konspirasi Islam yang
bertujuan mendiskreditkan Jokowi, si ‘Muslim moderat’.
Fokus terpenting bagi para aktivis adalah keputusan
pemerintah untuk bergegas menuju revisi undang-undang tentang KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi), yang sangat melemahkan pengawas korupsi ini dengan
merusak independensi Komisi dan membatasi kekuatan penyelidikannya. Ini bukan
pertama kalinya proses politik pelemahan KPK melalui upaya revisi UU No.
30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal tersebut terjadi setidaknya
dua kali selama masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yaitu pada
tahun 2010 dan 2012. Tetapi selalu gagal karena penolakan dari masyarakat
sipil.
Dalam minggu-minggu menjelang pengumuman perubahan
legislatif ini, Komisi itu sendiri juga dilabeli sebagai sarang radikalisme,
sebuah taktik yang mencerminkan upaya untuk mendiskreditkan gerakan mahasiswa.
Hal ini menyebabkan anggota KPK menjadi sasaran karena keyakinan agama
masing-masing dalam upaya untuk mendiskreditkan mereka.
Seorang penyelidik senior dari KPK telah dipilih oleh
penentang lembaga ini, dimana para pakar menuduhnya sebagai anggota dari sel
tidur kelompok radikal rahasia.
Tuduhan ini didukung oleh komentar yang berfokus pada gaya
berpakaiannya—celana di atas mata kaki dan janggut panjang—yang merupakan gaya
Sunnah terkait dengan gerakan religius yang saleh.
Para analis telah mencatat bahwa waktu dari adanya
dugaan-dugaan ini penting seiringan dengan fitnah terhadap Komisi disaat
pemerintah berusaha melemahkan kekuasaannya. Ada dugaan bahwa kampanye kotor
ini dirancang agar masyarakat Indonesia mendukung pelemahan legislatif dari
Komisi ini.
Apakah ‘Radikal’ Merupakan PKI Baru?
KPK harus terus membela diri di arena publik Indonesia dan
bahkan telah bekerja dengan badan nasional penanggulangan terorisme untuk
membuktikan bahwa tidak ada yang ‘radikal’ di dalam organisasi. Tapi mungkin
salah satu elemen yang paling mengungkapkan episode ini adalah pengamatan Novel
Baswedan milik KPK pada bulan September tahun ini bahwa
“Label seperti Radikal [sekarang]
penggunaannya sama dengan cara label komunisme digunakan selama era Orde Baru,
yang digunakan untuk membungkam mereka yang menentang pemerintah.”
Aktivis hak asasi manusia Indonesia, pakar kekerasan dan
keamanan, dan organisasi masyarakat sipil semakin khawatir tentang perkembangan
ini. Pemerintah Indonesia telah semakin percaya diri dalam menggunakan label
‘radikal’ untuk mendelegitimasi pengkritiknya. Tidak ada indikasi bahwa
nasionalis dan pemimpin politik yang pro-pemerintah akan berhenti memanipulasi
ketakutan publik akan radikalisme untuk tujuan politik. Tetapi ini menimbulkan
pertanyaan yang tidak mengenakkan: Apa implikasinya bagi kontraterorisme dan
kerja kontra-radikalisasi secara aktual? Dan yang lebih penting, apa arti dari
hal ini bagi demokratisasi?
Bermanis-manis berbicara tentang Islam moderat sementara
mengikis kebebasan minoritas, hak asasi manusia, dan masyarakat sipil tidak
akan menandingi ‘Islam radikal.’ Namun, apa yang akan diakibatkannya ialah
mengungkap tatanan demokrasi belia yang menyatukan negara Indonesia. Orang
Indonesia dan para pengamat Indonesia juga harus menunggu untuk melihat
bagaimana konsekuensi jangka panjangnya.
Diterjemahkan dari Politicising the label radical? di New Mandala, yang tayang 12 Desember 2019
Penerjemah: A. Faricha Mantika dan Reza Maulana Hikam
Post a Comment