Oleh: Kenneth Yeo
(Analis
Riset di International Centre for Political Violence and Terrorism Research
(ICPVTR), S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang
Technological University (NTU), Singapura)
Pada 27 Oktober 2019, Operasi Khusus Amerika Serikat (AS) melancarkan penyerangan terhadap target bernilai tinggi di Idlib, Suriah. Serangan itu diyakini telah mengakibatkan kematian Abu Bakar al-Baghdadi, khalifah yang memproklamirkan diri dari apa yang disebut Negara Islam (IS). Komentar ini membahas implikasi dari kematiannya dan masa depan terorisme yang termotivasi oleh Islamis.
Pendahuluan
Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, membagikan
di Twitter mengenai “hal besar yang baru saja terjadi!” Tim Operasi Khusus
Amerika Serikat melancarkan penyerangan terjadap target bernilai tinggi (penting)
di Idlib, Suriah yang selanjutnya dinyatakan sebagai Abu Bakar Al-Baghdadi, Orang
yang menyatakan dirinya sendiri sebagai Khalifah dari Negara Islam Irak dan
Suriah (NIIS). Serangan pemenggalan kepala ini (istilah yang digunakan terkait
penyerangan pimpinan teroris) muncul setelah AS mendeklarasikan mereka “menarik
diri” dari Suriah. Baghdadi meledakkan diri menggunakan rompi bom bunuh diri
dalam upaya terkahir untuk membawa beberapa tentara mati bersamanya, namun gagal
membunuh satu tentara pun. Apakah terorisme Islamis akan jatuh bersamanya?
Dampak Taktis Jangka Menengah: Mobilisasi
Melalui Balas Dendam
Salah satu dari banyak fenomena yang terlihat setelah operasi pemenggalan organisasi teroris yang bermotivasi agama adalah mobilisasi untuk balas dendam. Mobilisasi balas dendam sering terjadi setelah pemimpin spiritual kelompok teroris dibunuh. Pembunuhan Maret 2004 oleh Sheikh Yassin; pemimpin spiritual Ḥarakat al-Muqāwamah al-ʾIslāmiyyah (Hamas), telah menyebabkan mobilisasi balas dendam tersebut. Narasi ini telah menyebabkan tingkat agresi yang lebih besar dari Hamas terhadap Israel ketika para militan secara sukarela memobilisasi diri mereka sebagai pembom bunuh diri. Namun demikian, seruan untuk balas dendam muncul telah memobilisasi serangan yang lebih sering tetapi kurang mematikan terhadap Israel.
Baru-baru ini, narasi balas dendam digunakan setelah pengambilan kembali Baghuoz pada 23 Maret 2019. Hilangnya wilayah akhir ISIS di Suriah, ditambah dengan seruan untuk membalas dendam terhadap Pembantaian Masjid Christchurch yang terjadi di Selandia Baru pada 15 Maret, 2019, telah mengilhami serangan di Sri Lanka yang diduga menewaskan 259 orang, melukai sedikitnya 500 orang lainnya. Perbedaan hasil antara pengalaman Israel dan Sri Lanka sebagian besar disebabkan oleh tidak adanya target spesifik ISIS. Oleh karena itu, tidak ada pengerasan target yang dilakukan di negara-negara seperti Sri Lanka yang hanya sedikit terpapar terorisme Islam yang membuat mereka rentan terhadap Serangan Colombo yang destruktif.
Bom bunuh diri Abu Bakar al-Baghdadi juga bisa menjadi contoh dari "propaganda melalui aksi"; di mana tindakan politik seseorang menjadi pemicu untuk memobilisasi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Kemartiran Baghdadi akan tercatat dalam sejarah sebagai pemimpin teroris internasional pertama yang mati karena bom bunuh diri. Ini mungkin menginspirasi simpatisan untuk melakukan pemboman bunuh diri terhadap sasaran empuk di wilayah domestik. Namun demikian, serangan seperti itu tidak mungkin terkoordinasi dengan baik seperti Serangan Kolombo karena plot Kolombo disiapkan sebelum direbutnya kembali Baghouz.
Dampak Organisasional Jangka Menengah: Melumpuhkan,
Memecah atau Meradikalisasi?
Pertanyaan pentingnya adalah
apakah "Kekhalifahan" akan tumbang setelah kematian pemimpinnya. Para
ahli telah menganalisis hasil pemenggalan kepemimpinan (decapitation) secara luas
dan menyimpulkan bahwa kemampuan bertahan organisasi setelah pemenggalan
kepemimpinan bervariasi berdasarkan faktor-faktor seperti struktur organisasi,
kharisma pemimpin, dan ideologi, umur dan ukuran organisasi. Inti dari
argumen ini adalah perbandingan ketahanan antara organisasi hierarkis dan
jaringan. Beberapa pakar berpendapat bahwa hierarki yang besar lebih tahan karena birokrasi
yang mapan yang dapat beroperasi tanpa pemimpin. Birokrasi yang mapan ini juga
dapat dengan mudah memilih penggantinya jika terjadi serangan pemenggalan
kepala. Atau, struktur jaringan lebih tangguh karena operasi sudah
didesentralisasi dan tidak bergantung pada kepemimpinan pusat untuk berfungsi.
Kematian Baghdadi tidak akan
menyebabkan runtuhnya ISIS karena struktur organisasinya. ISIS dianggap sebagai
organisasi hybrid (campuran); mengadopsi
struktur hierarkis untuk mengelola wilayahnya (provinsi) di Suriah dan Irak, dan struktur jaringan untuk operasi wilayahnya di luar
negeri. Dari perspektif organisasi hierarkis, kelangsungan hidup ISIS
tergantung pada legitimasi penggantinya. Ini diatasi ketika Baghdadi menunjuk
Abdullah Qardash sebagai penggantinya pada 7 Agustus 2019; bulan sebelum
kematiannya. Selain itu, struktur jaringan yang terdesentralisasi memungkinkan
kelompok periferal berfungsi meskipun tidak ada pemimpin. Pengamatan serupa
dilakukan selama kematian Osama Bin Laden pada 2 Mei 2011 yang tidak mengarah
pada kekalahan Al Qaeda (AQ).
Secara alami, ini menimbulkan pertanyaan apakah
serpihan radikal ISIS akan muncul seperti bagaimana ISIS terpecah dari AQ tak
lama setelah kematian Osama Bin Laden. Penelitian telah menyimpulkan bahwa
keretakan hanya akan terjadi setelah pemenggalan kepala seorang pemimpin jika
organisasi tersebut menderita konflik internal yang sudah ada sebelumnya. Ini
jelas bagi AQ sebagai perpecahan ideologis dalam AQ yang dimulai sejak tahun
2005. Anggota berdebat tentang perbedaan ambang kebrutalan terhadap warga sipil
berdasarkan doktrin agama. Oleh karena itu, pemenggalan kepala Osama Bin Laden
tidak menciptakan perpecahan dalam AQ tetapi hanya memfasilitasi proses. Perbedaan
ini tidak tampak jelas bagi ISIS karena tidak adanya ideologi atau doktrin. Oleh
karena itu, tidak jelas apakah kita akan mengamati terpecahnya ISIS.
Kematian Baghdadi juga tidak akan menyebabkan
melemahnya ISIS; mereka telah melemah beberapa bulan sebelum kematiannya. ISIS
kehilangan sebagian besar wilayahnya setelah 11 April 2017 ketika Pasukan
Demokratik Suriah (SDF) yang didukung AS merebut kembali Raqqa. Perebutan
kembali Baghouz pada bulan Maret 2019 membuat kekuatan ISIS menurun dan
bergerak menuju kekalahan. Boleh dibilang, pembunuhan Baghdadi hanya
mungkin terjadi setelah melemahnya ISIS. Namun demikian, organisasi akan terus
bertahan dalam keadaan rapuh, tetapi para pembuat kebijakan tidak boleh mengabaikan
potensi kebangkitan dalam jangka panjang.
Dampak Ideologis
Jangka Panjang: Nasib Terorisme Islamis Internasional
Apakah ISIS yang melemah akan mengakhiri terorisme
Islam internasional? Mungkin. Terorisme Islam, tidak seperti bentuk-bentuk
terorisme lainnya, adalah satu-satunya ideologi teroris yang sepenuhnya merangkul
globalisasi. Mereka adalah satu-satunya ideologi yang mampu memobilisasi
sejumlah besar pejuang asing dari seluruh dunia untuk bertarung di teater
konflik tertentu. Ini pertama kali didokumentasikan selama Perang 1979-1989
Soviet-Afghanistan di mana analis memperkirakan 5.000 - 20.000 pejuang asing
bermigrasi ke Afghanistan untuk mendukung Mujahidin Islam. Fenomena ini juga
diamati dalam konflik di Irak dan Suriah di mana sekitar 25.000 orang yang
diketahui berhasil bermigrasi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS pada tahun
2017.
Namun, terorisme hanya benar-benar internasional
jika mereka dapat berkoordinasi dan memanfaatkan sumber daya transnasional. ISIS
menghasilkan pendapatan untuk mendukung wilayah pinggirannya terutama melalui
penjualan minyak yang diambil dari wilayah yang ditangkap. Ini telah kehilangan
aliran pendapatan utama ini bersama dengan wilayah mereka. Ini membatasi
kemampuan mereka untuk mendukung wilayah pinggirannya dengan imbalan kesetiaan
kepada "kekhalifahan". Tampaknya dukungan ISIS yang melemah terbatas
pada materi propaganda yang dikuratori secara profesional di dunia maya. Selain
itu, mereka tidak dapat menarik pejuang asing lagi untuk melakukan hijrah ke
Suriah atau Irak karena teroris Islam tampaknya lebih peduli tentang penyebab
domestik atau regional. Oleh karena itu, terorisme Islamis internasional
mungkin akan mengalami kemunduran untuk mengejar tujuan domestik atau
regionalnya. Timur Tengah akan terus mengalami kekerasan yang diilhami oleh
Islamis karena ada sedikit upaya untuk memfasilitasi
proses pembangunan perdamaian di wilayah tersebut.
Namun demikian, ketika terorisme
Islam internasional mengalami kemunduran untuk mengejar tujuan domestik atau
regionalnya, teroris reaksioner dengan ideologi alternatif juga muncul. Ini
diamati dengan terorisme Budha dan Hindutva yang diamati di Asia Selatan dan
sebagian Asia Tenggara, terorisme Kanan-Jauh (Far-Right) di negara-negara Demokrat Barat, dan kekerasan sporadis
yang diilhami oleh Komunis di seluruh dunia. Terlepas dari tren ini, upaya
kontraterorisme sering diarahkan pada populasi Muslim. Para pembuat kebijakan
harus mengakui ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya sebagai perhatian
eksklusif terhadap kebijakan anti-Islamis yang memberi para Islamis
keluhan-keluhan politik yang akan dieksploitasi oleh organisasi-organisasi
ekstremis. Pada akhirnya, komunitas internasional bertanggung jawab atas
pembentukan kekuatan Islam global.
Implikasi Kebijakan
Kemartiran Abu Bakar al-Baghdadi hanya memiliki
implikasi taktis secara langsung. Propaganda perbuatannya mungkin
akan mengilhami simpatisan untuk melancarkan serangan bunuh diri mereka sendiri
terhadap sasaran domestik yang lunak. Namun demikian, serangan ini diharapkan
dilakukan oleh operator serigala tunggal (lone wolf) yang tidak
terlatih, dengan sedikit koordinasi. Negara seharusnya
tidak menerima begitu saja dan mulai melakukan kewaspadaan melalui pengerasan
target dan berbagi intelijen.
Wilayah pinggiran ISIS tidak akan terpengaruh oleh
matinya Baghdadi karena struktur organisasi mereka yang terdesentralisasi. ISIS
yang melemah hanya akan memungkinkan wilayah pinggiran untuk fokus dan mengejar
tujuan regional dan lokal. Karenanya, negara-negara yang bermasalah dengan
unsur-unsur ISIS seperti Negara Islam Afghanistan Khorasan (ISK), Negara Islam
Nigeria di Semenanjung Afrika Barat (ISWAP), Provinsi Islam Kongo, Afrika
Tengah (ISCAP) dan Negara Islam Filipina, Asia Timur (ISEA) tidak mungkin untuk
dipengaruhi oleh peristiwa di Suriah.
Kewenangan pusat ISIS
yang melemah juga memberi pemerintah daerah peluang untuk berputar ke dalam
kebijakan netral ideologis untuk kontraterorisme. Terorisme tidak boleh
berafiliasi dengan grup identitas tertentu. Hal ini khususnya memprihatinkan
mengingat sedikit penekanan internasional akan dampak buruk dari terorisme
sayap kanan, Budha, Hindutva, dan Komunis. Pada akhirnya, pembuat kebijakan
harus menyadari bahwa mereka memiliki peran dalam pembangunan pengaduan politik.*
Penerjemah: Reza Maulana Hikam
Penerjemah: Reza Maulana Hikam
Post a Comment