Oleh: Akhmad Hani Nadif
Beberapa momen yang lalu, masyarakat digaduhkan dengan aksi pembuangan bendera merah putih yang diduga dilakukan oleh mahasiswa di asrama papua, Surabaya. Semua nya bermula dari sebuah gawai dan tersebar luas ke gawai lain nya mengikuti persebaran broadcast aplikasi pesan whatsapp. Dengan cepat dan semangat sejumlah ormas, mengabaikan rule of law, maju berdiri di garis depan dan melakukan agitasi terhadap mahasiswa Papua penghuni kos-kosan tersebut. Kloter kedua pun kemudian datang, kali ini tim aparat yang terdiri dari tim kepolisian dengan cepat dan semangat membubarkan aksi ormas demi ketertiban dan keamanan. Peristiwa tersebut adalah sebuah refleksi dari bagaimana bergantung nya negara atau pun oknum aparatur negara terhadap kekuatan perantara sebagai agen tidak resmi dalam menjaga ketertiban dan keamanan. Hubungan diantara kedua nya pun mengalami pasang-surut seperti dua sejoli di tingkat SMA, tetapi pada tulisan kali ini kita tidak akan membahas mengenai dinamika asmara dua dunia tersebut, tulisan ini adalah kritik terhadap pendekatan keamanan pemerintah yang masih menggunakan pendekatan keamanan kuno dalam melawan insurjensi kelompok separatis Papua yang sudah melek hingga terbelalak teknologi IT.
Dunia
yang terus bergerak maju dan semakin digital sepertinya belum begitu dipahami
oleh para pengambil kebijakan yang terlibat. Disaat pihak lawan mengeksploitasi
kapabilitas semi-konduktor dalam mengeksekusi strategi nya, aparatur keamanan
masih menggunakan metode pendekatan antik yang sudah ada sejak zaman kolonial.
Centeng,preman,milisi, strong man
apalah itu sebutan nya sudah sejak lama menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari sistem pemerintahan tidak resmi di Nusantara. Belanda menggunakan jasa “perantara”
tersebut untuk menegakkan peraturan kolonial di desa-desa terpencil yang tidak
dapat dijamah oleh pemerintahan pusat di Batavia. Simbiosis semacam ini
kemudian berlanjut hingga pada era kemerdekaan,orde-baru, dan pasca-orde
baru/reformasi seperti saat ini. Namun, apa yang terjadi setelahnya? Backlash di komunitas internasional dan
masyarakat Indonesia sendiri (ini hal yang paling memalukan sebenarnya menurut
saya),kerusuhan Papua, dan kelompok separatis Papua yang sumringah begitu lebar
nya. Memang, untuk mengendus pergerakan separatis adalah hal yang tidak mudah,
apalagi sebagian besar kegiatan yang dilakukan bersifat klandestin sehingga
dibutuhkan “agen-agen” non-formal yang dapat membaur di masyarakat, tetapi di
era infomasi seperti saat ini, bentuk konflik juga sudah mengalami perubahan. Tidak
ada lagi bentuk dan medan peperangan yang pasti maupun struktur yang jelas,
karena sejatinya medan perang saat ini telah merambah dunia ghaib alias dunia
maya dimana narasi dapat mengalahkan senjata api (dalam tataran strategis),
ketika yang target utama nya bukanlah kehancuran pasukan bersenjata lawan
melainkan hati dan pikiran masyarakat. Perang semacam ini yang oleh P.W Singer
dinamakan dengan LikeWar.
“LikeWar”
Perang
LikeWar, siapa sangka media sosial yang awalnya dieksploitasi jiwa-jiwa
narsistik para pengguna nya untuk mencari perhatian kini telah mampu berubah
wujud menjadi platform senjata yang murah,efisien, dan canggih. Mengutip dari
artikel karya P.W Singer yaitu “LikeWar: The Weaponization of Social Media”, LikeWar
adalah perang dengan tujuan untuk memanipulasi masyarakat melalui suatu
jaringan siber yang terdiri dari jumlah “like” dan informasi palsu yang
kemudian dikoordinasikan dengan algoritma di dalam sistem jaringan tersebut.
Agar tercipta sesuatu yang viral, dibutuhkan dua kubu yang di plot saling memusuhi
satu sama lain misalnya antara page sosial media di kubu A dan kubu B yang
saling serang dan memberikan hashtag pada perang argumentasi nya, kemudian
komentator bayaran yang mengisi kolom komentar dari perdebatan yang ada di
suatu media sosial. Serangan seperti ini kemudian dilakukan secara terus
menerus hingga menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Banyak
pemain yang menggunakan platform digital ini untuk mencapai tujuan-tujuan
politik maupun ekonomi nya, mulai dari kekuatan-kekuatan raksasa seperti
AS,Rusia, dan RRC, hingga kelompok separatis Papua pun memanfaatkan platform
ini pula, tercatat ada beberapa akun yang terafiliasi dengan kelompok separatis
dilihat dari isi konten nya antara lain @FreeWestPapua di Twitter,Facebook,
dll. Di dalam nya selalu update berita-berita entah benar atau tidak mengenai
kekejaman aparat keamanan Indonesia terhadap rakyat Papua, diskursus mengenai
status aneksasi yang dilakukan di Indonesia, debat kusir antara satu pihak
dengan pihak lain yang tidak jelas status identitas nya. Tidak ketinggalan,
pada bulan Oktober ini, BBC pun menampilkan berita dengan narasi yang
mendiskreditkan pemerintah Indonesia dengan cara menyerang kerangka hubungan
yang dimiliki oleh elit-elit politik di Indonesia, anda semua bisa mencari nya
melalui aplikasi browsing google dengan keyword, “BBC dan kerusuhan Papua”.
Lalu,
mengapa tiba-tiba disini muncul BBC? Korelasi nya apa dengan tulisan ini?. Jadi
begini, separatis Papua sebelumnya telah memiliki jaringan yang solid di luar
negeri antara lain di Inggris dan Australia, setidaknya jika dianalisa dari
sepak terjang media nya bukan pemerintah nya karena di era perang LikeWar
seperti sekarang ini, media resmi pemerintah dapat dijadikan sebagai senjata oleh
suatu pemerintahan tanpa harus terkena implikasi politis yang besar.
Dengan
kata lain, sudah tahu kemampuan IT musuh begitu besarnya, kenapa masih
menggunakan cara-cara seperti di jaman kepemimpinan Jenderal paling murah
senyum sedunia? Atau jangan-jangan tidak tahu? Intinya adalah, pemerintah harus
mengevaluasi struktur keamanan nya baik yang formal maupun “informal”. Di zaman
sekarang, emosi dan otot tidak akan pernah menyelesaikan masalah, justru yang
terjadi adalah sebaliknya. Kekuatan “informal” tidak lagi layak untuk berada di
garis depan, setidaknya untuk kegiatan separatisme Papua. Harus ada perubahan
pendekatan, pemerintah dan pihak terkait lain nya harus mengistirahatkan amarah
dan otot nya, gunakanlah pendekatan yang manusiawi dan bangun infrastruktur
yang mumpuni untuk menghadapi LikeWar, sebuah bentuk peperangan yang medan nya “ghaib”
tapi memiliki implikasi yang sangat nyata.
Post a Comment