![Image result for menkopolhukam](https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/3/32/Wiranto%27s_conference_press_about_the_2019_Indonesian_general_election.jpg)
Oleh Prihandono Wibowo
Pada 10 Oktober 2019, dunia
politik Indonesia dikejutkan dengan peristiwa penyerangan Menkopolhukam berupa penusukan oleh
seorang bernama Abu Rara. Tidak hanya Menkopolhukam, tetapi Kapolsek Menes turut
mengalami penusukan yang dilakukan oleh istri dari Abu Rara. Beberapa spekulasi
dan konspirasi menyeruak pasca peristiwa tersebut. Sebagian warga dunia maya melihat
peristiwa settingan ataupun drama politik terbaru dari elit politik. Sebagian
lagi menganggap peristiwa tersebut benar terjadi, namun justru tidak menampakkan
simpati pada Menkopolhukam yang menjadi korban penusukan. Pemerintah, baik
melalui Presiden Joko Widodo maupun Kepala BIN, Budi Gunawan, memberi
penjelasan bahwa pelaku serangan terhadap Menkopolhukam merupakan pihak yang
terpapar radikalisme. Tuduhan langsung diarahkan kepada kelompok Jamaah
Ansharut Daulah (JAD)-afiliasi ISIS di Indonesia, sebagai “dalang” dari
serangan tersebut. Meski kasus ini masih
terus dikembangkan, namun kecurigaan pemerintah tersebut nampaknya sesuai dengan trend yang berlangsung dalam perkembangan terorisme ISIS belakangan.
Sebelumnya, di Surabaya pada Agustus 2019, terjadi serangan penyerangan menggunakan
senjata tajam yang menargetkan polisi di Polsek Wonokromo, Surabaya. Polisi
mengindikasikan pelaku tersebut “terpapar” paham ISIS. Peristiwa
penyerangan lain yang menggunakan senjata tajam juga terjadi pada 2018 di Riau. Beberapa
akademisi pengamat terorisme mengaitkan trend taktik semacam ini, dengan
istilah “Ightiyalat”. Ightiyalat dalam bahasa
sederhana adalah melakukan serangan mendadak yang ditujukan untuk membinasakan
musuh. Terdapat beberapa hal yang diperhatikan dalam fenomena trend ini.
Pertama, trend “ightiyalat”
memiliki kesinambungan selama beberapa tahun terakhir. Dalam salah satu publikasi
“terduga” ISIS yang disirkulasikan oleh media-media pro-ISIS pada tahun 2018, disebutkan serba-serbi mengenai ightiyalat.
Mulai dari definisi, sebab, kondisi-kondisi yang harus dipenuhi, karakteristik
operasi ightiyalat, waktu terbaik melakukan, maupun tahapan-tahapan ightiyalat.
Selain itu, juga disebutkan jenis-jenis bentuk serangan “ightiyalat” yang dapat
dilakukan. “Igtiyalat” tidak hanya dilakukan dengan senjata api, namun juga
menggunakan senjata tajam. Jika dilacak, trend penggunaan senjata tajam dalam “ightiyalat”
ini juga dapat ditemukan di salah satu majalah digital yang diterbitkan media-pro
ISIS yang diterbitkan tahun 2016.
Dalam majalah edisi digital tersebut, disebutkan
keuntungan-keuntungan melakukan serangan mendadak dengan menggunakan senjata
tajam. Pengarang dari artikel tersebut menjelaskan bahwa penggunaan pisau
tertentu adalah efektif untuk melakukan serangan kepada musuh. Pengarang dalam
majalah digital tersebut menjelaskan posisi tubuh mana yang efektif sebagai
target serangan senjata tajam. Selain itu, pengarang artikel dalam majalah digital tersebut
menjelaskan timeline trend keberhasilan terorisme dengan penggunaan senjata senjata tajam
dalam serangan mendadak di kawasan Asia Selatan.
Jika dilacak lagi lebih jauh lagi,
serangan taktik serangan mendadak semacam ini dapat ditemukan
pada tahun 2009 dalam artikel yang ditulis oleh Abu Jandal al Azdi.. Dalam tulisannya
tersebut, Abu Jandal memberi definisi, langkah-langkah, dan detail teknis
pelaksanaan “ightiyalat.” Penulis tersebut menerangkan bahwa target serangan
dari operasi “ightiyalat” tersebut adalah orang-orang dari negara-negara luar
negeri yang memusuhi Islam, Namun penguasa dari negeri-negeri muslim yang
menjadi “pelayan” dari negara luar tersebut juga patut menjadi objek serangan “ightiyalat”.
Dalam masa tulisan ini dibuat, praktis ISIS belum eksis. Namun tulisan ini
menginspirasi trend terorisme hingga terkini. Serangan “ightiyalat” merupakan
salah satu taktik trend dalam fenomena terorisme. Taktik dengan penggunaan senjata tajam ini menjadi pilihan
bagi kelompok-kelompok ataupun individu teroris ketika penggunaan senjata berat
seperti bom atau senjata api semakin sulit didapat.
Kedua, hingga kini, ISIS “pusat” “berdiam
diri” dengan tidak ada klaim dari serangan kepada Menkopolhukam RI tersebut.
Begitu pula hingga tulisan ini dibuat, beberapa akun di Telegram yang menjadi
forum diskusi pendukung ISIS, tidak terlihat pemberitaan mengenai peristiwa
penusukan terhadap Menkopolhukam RI tersebut. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa
yang sebenarnya terjadi adalah terorisme lone wolf. Namun dari peristiwa tersebut,
dapat dilihat pengaruh sisa-sisa ideologi dan teknis dari beragam publikasi
ISIS dalam serangan . Hal ini seakan mengkonfirmasi bahwa meskipun secara
fisik, secara penguasaan teritori ISIS telah dikalahkan dan “khilafah” ISIS telah
runtuh-oleh serangan AS, Iran, Rusia, Irak, dan Kurdi-namun “sisa-sisa” ideologi
pemikiran ekstrim ISIS masih dapat diapdopsi individu yang bahkan berada nun
jauh di luar Timur Tengah. ISIS dapat menjadi kelompok teroris paling berbahaya, namun
yang lebih berbahaya adalah trend serangan terorisme lone wolf. Hal ini
karena tidak mudah untuk mengantisipasi ataupun mendeteksi potensi serangan terorisme lone wolf. Dalam
sebuah wawancara media Indonesia yang kredibel, disebutkan bahwa ketua JAD Bekasi, Abu Zee, yang
pernah satu kali berkontak dengan Abu Rara, tidak mengetahui dan tidak
memerintahkan serangan yang dilakukan Abu Rara kepada Menkopolhukam RI
tersebut. Meski perlu pemeriksaan dan riset diperlukan lebih lanjut, namun dapat
disimpulkan sementara secara sederhana, bahwa trend terorisme dengan beragam
variasinya, masih menjadi ancaman bagi negara ini.
Post a Comment