Serangan pada Menkopolhukam RI dan Trend “Ightiyalat”




Image result for menkopolhukam

Oleh Prihandono Wibowo

Pada 10 Oktober 2019, dunia politik Indonesia dikejutkan dengan peristiwa penyerangan Menkopolhukam berupa penusukan oleh seorang bernama Abu Rara. Tidak hanya Menkopolhukam, tetapi Kapolsek Menes turut mengalami penusukan yang dilakukan oleh istri dari Abu Rara. Beberapa spekulasi dan konspirasi menyeruak pasca peristiwa tersebut. Sebagian warga dunia maya melihat peristiwa settingan ataupun drama politik terbaru dari elit politik. Sebagian lagi menganggap peristiwa tersebut benar terjadi, namun justru tidak menampakkan simpati pada Menkopolhukam yang menjadi korban penusukan. Pemerintah, baik melalui Presiden Joko Widodo maupun Kepala BIN, Budi Gunawan, memberi penjelasan bahwa pelaku serangan terhadap Menkopolhukam merupakan pihak yang terpapar radikalisme. Tuduhan langsung diarahkan kepada kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD)-afiliasi ISIS di Indonesia, sebagai “dalang” dari serangan tersebut.  Meski kasus ini masih terus dikembangkan, namun kecurigaan pemerintah tersebut nampaknya sesuai dengan trend yang berlangsung dalam perkembangan terorisme ISIS belakangan. 

Sebelumnya, di Surabaya pada Agustus 2019, terjadi serangan penyerangan menggunakan senjata tajam yang menargetkan polisi di Polsek Wonokromo, Surabaya. Polisi mengindikasikan pelaku tersebut “terpapar” paham ISIS. Peristiwa penyerangan lain yang menggunakan senjata tajam juga terjadi pada 2018 di Riau. Beberapa akademisi pengamat terorisme mengaitkan trend taktik semacam ini, dengan istilah  “Ightiyalat”. Ightiyalat dalam bahasa sederhana adalah melakukan serangan mendadak yang ditujukan untuk membinasakan musuh. Terdapat beberapa hal yang diperhatikan dalam fenomena trend ini.

Pertama, trend “ightiyalat” memiliki kesinambungan selama beberapa tahun terakhir. Dalam salah satu publikasi “terduga” ISIS yang disirkulasikan oleh media-media pro-ISIS pada tahun 2018,  disebutkan serba-serbi mengenai ightiyalat. Mulai dari definisi, sebab, kondisi-kondisi yang harus dipenuhi, karakteristik operasi ightiyalat, waktu terbaik melakukan, maupun tahapan-tahapan ightiyalat. Selain itu, juga disebutkan jenis-jenis bentuk serangan “ightiyalat” yang dapat dilakukan. “Igtiyalat” tidak hanya dilakukan dengan senjata api, namun juga menggunakan senjata tajam. Jika dilacak, trend penggunaan senjata tajam dalam “ightiyalat” ini juga dapat ditemukan di salah satu majalah digital yang diterbitkan media-pro ISIS yang diterbitkan tahun 2016. 

Dalam majalah edisi digital tersebut, disebutkan keuntungan-keuntungan melakukan serangan mendadak dengan menggunakan senjata tajam. Pengarang dari artikel tersebut menjelaskan bahwa penggunaan pisau tertentu adalah efektif untuk melakukan serangan kepada musuh. Pengarang dalam majalah digital tersebut menjelaskan posisi tubuh mana yang efektif sebagai target serangan senjata tajam. Selain itu, pengarang artikel dalam majalah digital tersebut menjelaskan timeline trend keberhasilan terorisme dengan penggunaan senjata senjata tajam dalam serangan mendadak di kawasan Asia Selatan.

Jika dilacak lagi lebih jauh lagi, serangan taktik serangan mendadak semacam ini dapat ditemukan pada tahun 2009 dalam artikel yang ditulis oleh Abu Jandal al Azdi.. Dalam tulisannya tersebut, Abu Jandal memberi definisi, langkah-langkah, dan detail teknis pelaksanaan “ightiyalat.” Penulis tersebut menerangkan bahwa target serangan dari operasi “ightiyalat” tersebut adalah orang-orang dari negara-negara luar negeri yang memusuhi Islam, Namun penguasa dari negeri-negeri muslim yang menjadi “pelayan” dari negara luar tersebut juga patut menjadi objek serangan “ightiyalat”. Dalam masa tulisan ini dibuat, praktis ISIS belum eksis. Namun tulisan ini menginspirasi trend terorisme hingga terkini. Serangan “ightiyalat” merupakan salah satu taktik trend dalam fenomena terorisme. Taktik dengan penggunaan senjata tajam ini menjadi pilihan bagi kelompok-kelompok ataupun individu teroris ketika penggunaan senjata berat seperti bom atau senjata api semakin sulit didapat.  

Kedua, hingga kini, ISIS “pusat” “berdiam diri” dengan tidak ada klaim dari serangan kepada Menkopolhukam RI tersebut. Begitu pula hingga tulisan ini dibuat, beberapa akun di Telegram yang menjadi forum diskusi pendukung ISIS, tidak terlihat pemberitaan mengenai peristiwa penusukan terhadap Menkopolhukam RI tersebut. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah terorisme lone wolf. Namun dari peristiwa tersebut, dapat dilihat pengaruh sisa-sisa ideologi dan teknis dari beragam publikasi ISIS dalam serangan . Hal ini seakan mengkonfirmasi bahwa meskipun secara fisik, secara penguasaan teritori ISIS telah dikalahkan dan “khilafah” ISIS telah runtuh-oleh serangan AS, Iran, Rusia, Irak, dan Kurdi-namun “sisa-sisa” ideologi pemikiran ekstrim ISIS masih dapat diapdopsi individu yang bahkan berada nun jauh di luar Timur Tengah. ISIS dapat menjadi kelompok teroris paling berbahaya, namun yang lebih berbahaya adalah trend serangan terorisme lone wolf. Hal ini karena tidak mudah untuk mengantisipasi ataupun mendeteksi potensi serangan terorisme lone wolf. Dalam sebuah wawancara media Indonesia yang kredibel, disebutkan bahwa ketua JAD Bekasi, Abu Zee, yang pernah satu kali berkontak dengan Abu Rara, tidak mengetahui dan tidak memerintahkan serangan yang dilakukan Abu Rara kepada Menkopolhukam RI tersebut. Meski perlu pemeriksaan dan riset diperlukan lebih lanjut, namun dapat disimpulkan sementara secara sederhana, bahwa trend terorisme dengan beragam variasinya, masih menjadi ancaman bagi negara ini.

Post a Comment

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates