![Image result for garda revolusi iran](https://www.hidayatullah.com/files/bfi_thumb/garda-revolusi-iran-teroris-38b25zo22jdvgegi5ug1z4.jpg)
Oleh : Prihandono Wibowo
Pada April 2019, Presiden Donald Trump memberi
pernyataan resmi yang menyatakan pasukan Islamic Revolutionary Guard Corps (IRGC)
atau yang dikenal sebagai Garda Revolusi sebagai kelompok teroris. Dalam rilis resmi
di web whitehouse.org, Donald Trump menyatakan bahwa IRGC, termasuk unit elit Quds
Force di dalamnya, sebagai Foreign Terrorist Organization (FTO).
Alasannya, IRGC dianggap sebagai instrumen utama untuk mengarahkan dan mengimplementasikan
kebijakan terorisme oleh rezim Iran. IRGC dinilai secara aktif berpartisipasi,
membiayai, dan mendorong berbagai aktivitas terorisme. Kebijakan mengklasifikasikan
IRGC sebagai kelompok teroris, diakui Presiden Trump, sebagai kebijakan yang
pertama kali diambil Amerika Serikat (AS) untuk “mencap” bagian dari sebuah
pemerintahan sebuah negara sebagai kelompok teroris. Trump menyatakan bahwa
kebijakan ini merupakan bagian dari upaya luas menekan Iran sampai Iran
meninggalkan kebijakan mensponsori terorisme. Berbisnis dengan IRGC berarti
sama dengan membiayai terorisme.
Dalam kajian studi terorisme,
kebijakan Trump yang mengklasifikasikan IRGC dalam kategori kelompok teroris, adalah
“anomali” dari keumuman. Pasalnya, IRGC adalah salah satu cabang militer resmi
yang dimiliki negara Iran. IRGC adalah salah satu cabang militer Iran, dimana
negara tersebut juga memiliki tentara regular yang disebut dengan The Army
of the Islamic Republic of Iran. Padahal, hampir setiap pendefinisian
mengenai terorisme-baik dari kalangan akademisi maupun pemerintah-tidak pernah
menyebutkan militer resmi negara lain sebagai kelompok teroris. Meski tidak
pernah disepakati definisi pasti tentang apa itu terorisme dan apa yang disebut
dengan teroris, namun karakter umum dari berbagai pendefinisian mengenai
terorisme “disepakati” bahwa terorisme dilakukan oleh aktor non-negara. Seperti
dijelaskan Gus Martin dalam bukunya Understanding Terrorism : Challenges,
perspectives, and Issues, bahwa pendefinisian terorisme mencakup a. the use
of illegal force, b. subnational actors, c. unconventional methods, d.
political motives, e. attack against soft civilian and passive military
targets, f. acts aimed at purposefully affect in an audience.
Keenam ciri umum
tersebut banyak digunakan dalam mendefinisikan apa itu terorisme dan apa yang
disebut dengan kelompok teroris. Karakter umum tersebut merujuk pada aktor
non-negara sebagai aktor terorisme dengan target serangan masyarakat umum dan
metode serangan yang nonkonvensional. Terorisme merupakan bentuk dari perang
asimetris. Karakter ini juga tampak sebagai indikator dalam penyusunan daftar
organisasi teroris yang diterbitkan berbagai negara dan organisasi
internasional seperti PBB dan Uni Eropa. Kelompok non-state seperti Al
Qaeda dan ISIS, serta berbagai kelompok afiliasinya, disepakati hampir semua
entitas internasional, sebagai kelompok teroris. Pemerintah AS sendiri hingga
2018, hampir selalu konsisten mengklasifikasikan berbagai kelompok non-state
dalam kategorisasi organisasi teroris.
Hal menarik lainnya, Iran dituduh
sebagai negara yang mensponsori terorisme dengan kehadiran pasukannya di negara
lain. Padahal, kehadiran pasukan yang dimiliki Iran di negara lain adalah berdasar
“undangan” resmi dari negara tersebut. Dalam konteks Syria misalnya, pada 2006 Iran
dan Syria menandatangani perjanjian pertahanan untuk menghadapi potensi ancaman
yang berasal dari AS dan Israel. Pada 2018 rezim pemerintah Syria menyepakati memperdalam
kerjasama militer dengan Iran. Hal ini tertuang dalam pertemuan antara Presiden
Bashar al Assad dan Menteri Pertahanan Iran, Amir Hatami, di Syria. Begitu pula
tahun 2019, Presiden Bashar al Assad bertemu dengan pejabat tinggi Iran dan
Irak untuk meningkatkan kerjasama militer di antara 3 negara. Sehingga
kehadiran pasukan yang dimiliki Iran, adalah manifestasi mekanisme kerjasama
antar negara. Yang kebetulan Syria pada saat ini membutuhkan partisipasi Iran
untuk melawan kelompok pemberontak dan kelompok teroris yang bercokol di Syria
sejak negara tersebut mengalami konflik berkepanjangan. Alasan lain yang dapat
digunakan untuk “membela” IRGC dari tuduhan AS, adalah keterlibatan IRGC dalam
perang melawan teroris ISIS. AS tidak memperhitungkan “jasa” Iran dalam melawan
teroris ISIS baik di Syria maupun Irak. Beberapa laporan internasional
menyebutkan kematian beberapa figur personel IRGC-seperti Hossein Hamedani, Khairollah
Samadi, Mohsen Hojaji, dan nama-nama lainnya- dalam pertempuran
melawan ISIS di Syria.
Selain itu, bantuan Iran kepada Hizbullah dan Hamas juga
menjadi dasar bagi AS untuk mengklasifikasikan IRGC sebagai kelompok teroris. Bantuan
ini nyata dan terkonfirmasi oleh pernyataan-pernyataan baik dari pejabat Iran
maupun Hamas dan Hizbullah. Seharusnya konteks bantuan ini “dibaca” sebagai
solidaritas Iran dalam mendukung Palestina dan Lebanon untuk membela diri dari
setiap ancaman agresi oleh Israel. Hal ini bersesuaian dengan konstitusi Iran
yang menyatakan membingkai orientasi politik luar negerinya untuk memberi
dukungan kepada pihak-pihak yang tertindas di dunia.
Dari sisi hubungan antar negara, penyematan
tuduhan kelompok “teroris” terhadap IRGC telah berkontribusi meningkatkan
eskalasi antara AS dan Iran. Iran, melalui Presiden Rouhani, kemudian menuduh
balik AS sebagai “the leader of world terrorism”. Legislator Iran turut meloloskan
undang-undang yang menyatakan bahwa United
States Central Command (CENTCOM) dan segenap tentara AS di Timur Tengah adalah
“organisasi teroris”. Sedangkan dari sudut pandang kajian terorisme dan
keamanan internasional, pelabelan pemerintah Trump terhadap IRGC sebagai
kelompok teroris adalah kebijakan “bermasalah.” Kebijakan ini tidak terlepas dari
rangkaian lanjutan kebijakan AS yang mengundurkan diri secara sepihak dari
perjanjian JCPOA. Karena itu, pelabelan kelompok “teroris” dan penyematan
“aktor terorisme” oleh AS adalah sangat identik dengan motif dan kepentingan
politis.
Ahli dalam kajian terorisme, Edwin Bakker, menyatakan bahwa sulitnya
mendefinisikan terorisme disebabkan istilah terorisme adalah konsep yang
dikontestasikan. Artinya, teroris bagi seseorang belum tentu teroris bagi orang
lain. Kelompok yang dituduh sebagai kelompok teroris oleh institusi tertentu,
bisa jadi justru adalah pejuang kebebasan bagi kelompok orang yang lain. One
man’s terrorist is another man’s freedom fighter. Hal ini merupakan polemik
di bidang kajian terorisme. Karena pihak-pihak berkepentingan bisa menuduh
lawannya sebagai teroris ataupun berperan aktif mendukung kelompok teroris. Kebijakan
Trump yang mengidentifikasi cabang militer resmi negara lain sebagai kelompok teroris,
merupakan hal yang pertama di kajian terorisme sekaligus turut menambah polemik
dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan terorisme dan definisi apa itu kelompok
teroris. Karena itu, dari segi studi terorisme, pelabelan aktor terorisme
terhadap IRGC adalah di luar “keumuman”.
Artikel juga ditayangkan di ic-mes.org dengan judul Masalah Pelabelan "Teroris" Terhadap Garda Revolusi Iran
Artikel juga ditayangkan di ic-mes.org dengan judul Masalah Pelabelan "Teroris" Terhadap Garda Revolusi Iran
Post a Comment