Menerka “Hantu” Radikalisme


Oleh : Prihandono Wibowo
Istilah radikalisme menjadi “hantu” menakutkan bagi masyarakat Indonesia belakangan ini. Pemerintah, dengan berbagai aparatnya, mengumumkan bahwa radikalisme menjadi tantangan terkini bagi bangsa Indonesia. Misal, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan bahwa sekitar 39 % mahasiswa di 15 provinsi Indonesia terpapar paham radikalisme. Ditambah dengan tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) terbesar di Indonesia telah disusupi paham radikal. Tingkat “keterpaparan” dibagi menjadi tiga tingkat, “rendah”, “sedang”, dan “tinggi”. Badan Intelijen Negara (BIN) lantas turut membenarkan data ini. Selain mahasiswa, terdapat beberapa akademisi yang diindikasi “terpapar” paham radikalisme yang kemudian diancam dengan sanksi akademik jika tidak menanggalkan paham “radikal”-nya. Salah satu lembaga riset, yang dikutip di situs Belmawa Ristekdikti misalnya, menyatakan kampus rawan terhadap radikalisme. Lembaga riset lainnya misalnya menyatakan 10 PTN terpapar paham radikalisme. Pada 2019, untuk mencegah “radikalisme” di perguruan tinggi, Menristekdikti berencana meminta data sosial media baik mahasiswa maupun dosen. Deklarasi anti-radikalisme dibuat di berbagai kampus. Tidak hanya di dunia akademik, bahkan radikalisme disebut-sebut telah menjangkiti aparat pertahanan dan Aparatur Sipil Negara (ASN). Menteri Pertahanan (Menhan) misalnya, menyatakan bahwa 3% TNI telah terpapar paham radikalisme. Selain itu, Sejumlah ASN misalnya disebut juga telah terpapar paham radikalisme. BIN juga menyatakan sejumlah masjid dan penceramah juga telah terpapar radikalisme. 

Angka-angka tersebut tentu mengkhawatirkan dan patut menjadi perhatian semua pihak. Hanya saja yang kurang dalam hal ini adalah pendefinisian pasti dan konsensus apa yang dimaksud dengan istilah “radikalisme”. Masih belum terdapat definisi pasti secara legal formal dan konsensus, mengenai apa yang dimaksud dengan istilah “radikalisme”. Memang di UU 5 tahun 2018 disebutkan istilah “radikal terorisme”, Namun konteks dalam UU ini adalah yang berkaitan dengan “terorisme”. Sebaliknya, istilah “radikalisme” sendiri, yang digunakan untuk “melabeli” pemikiran dan berbagai gerakan sosial politik terkini di Indonesia, lebih banyak didefinisikan secara subjektif tanpa pelibatan konsensus yang lebih luas. Dalam ranah penelitian, juga tidak disepakati apa itu yang dimaksud dengan “radikalisme”. Salah satu lembaga riset, yang dikutip Belmawa Ristekdikti dalam penelitiannya tentang radikalisme di perguruan tinggi misalnya, juga tidak memberikan definisi pasti apa itu radikalisme. Lembaga riset tersebut hanya mengutip kriteria radikalisme dari Yusuf Qardhawi, yang mana penjelasannya mengenai kriteria-kriteria Qardhawi tersebut diragukan keakuratannya. Indikator yang diberikan justru kurang relevan dalam pengukuran tingkat “radikalisme”, seperti tingkat menyetujui wanita bercadar dan tingkat dukungan membantu Palestina, ataupun setuju tidaknya responeden bahwa tahlilan, ziarah kubur, kenduren, dan qunut subuh adalah bid’ah. Sedangkan di definisi lain, kriteria-kriteria lain yang sering diungkapkan dalam mendefinisikan radikalisme adalah: kekerasan atas nama agama, mengkafirkan orang lain, dukungan dan ajakan bergabung dengan khilafah, anti demokrasi dan Pancasila, Jiwa dan mati syahid (tirto.id 2018). 

Ketiadaan konsensus bersama untuk mendefinisikan apa itu “radikalisme” mengakibatkan istilah radikalisme rawan disematkan kepada kelompok apapun yang kritis terhadap kondisi sosial-politik di Indonesia. Istilah-istilah bermotif agama-seperti peraturan berbasis “syariah”, keyakinan eskatologi akhir zaman mengenai kemunculan “khilafah”, prinsip hidup “jihad” dan mati “syahid”, dll-yang identik dengan identitas keagamaan tertentu, menjadi indikator penanda untuk menandakan seseorang atau kelompok telah terpapar paham radikalisme atau tidak. Istilah “radikalisme” kemudian bercampur aduk tidak jelas dengan istilah “fundamentalisme”, “intoleransi”, “kekerasan”, “ekstrimisme”, bahkan “terorisme”. Kemudian dikembangkan istilah radikalisme “pemikiran” dan radikalisme “fisik”. Dengan demikian, Pendefinisian “radikalisme” menjadi bias dan tidak jelas. Kekurangan dalam pendefinisian radikalisme ini menyebabkan istilah “radikalisme” menjadi “hantu” yang menakutkan bagi banyak orang. Bahkan sekedar sikap seseorang mendukung atau menolak perda bernuansa “syariat” ataupun menyatakan sikap ingin atau tidak ingin dipimpin oleh pemimpin yang tidak seagama, menjadi indikator menentukan seseorang telah terpapar paham radikalisme atau tidak. Selain itu, ketiadaan definisi pasti mengenai “radikalisme” menyebabkan terjadi rawan politisasi istilah “radikalisme.” 

Kasus yang nyata dalam “pelabelan” “radikalisme” secara serampangan ini adalah penyematan istilah “kelompok radikal” bagi kelompok-kelompok pendukung salah satu capres dalam ajang pilpres 2019, yang sekaligus bersikap kontra terhadap rezim pemerintah yang saat ini sedang berkuasa di Indonesia. Sejatinya, kesalahan-kesalahan yang lekat dengan model politik bahasa tidak boleh terulang kembali. Indonesia memiliki pengalaman panjang dengan politik bahasa semacam ini. Pemerintah Orde Baru misalmya sering membungkam kelompok-kelompok yang kritis terhadap kondisi sosial-politik di Indonesia pada saat itu dengan istilah “subversif”, “mengganggu stabilitas negara”, dan “bahaya laten komunis”. Dengan “pelabelan” semacam ini, kelompok-kelompok yang kritis terhadap pemerintah di era Orde Baru ditindak dan dibuat agar tidak kritis kembali. Hal ini tentu tidak lagi dapat diulang kembali di era demokrasi saat ini. Untuk itu, diperlukan konsensus bersama untuk mendefinsikan apa yang dimaksud dengan “radikalisme” agar tidak terjadi kembali pelabelan yang tidak berdasar. Diperlukan diskusi dan konsensus bersama antar pihak untuk mengisi “gap” apa yang dimaksud dengan definisi “radikalisme.” Tentu ini bukan berarti ingin mengaburkan potensi ancaman “radikalisme”, sebaliknya, langkah ini justru merupakan upaya untuk mempertajam akurasi pendefinisian apa yang dimaksud dengan “radikalisme”.



1 comment :

  1. Inisuatif yang bagus untuk memperjelas batasan "Radikalisme". Namun perlu disadari bahwa langkah ini memerlukan kearifan dan ketulusan untuk saling menghargai pandangan yang pasti akan sangat beragam dalam proses pendefinisian konsep radikalisme.

    ReplyDelete

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates