Abu Fida: Abu Mus'ab Al-Suri Juga Pakai Taktik Gerilya



Salah seorang yang membidani kelahiran Al-Qaeda adalah Umar Abdul Hakim. Ia punya nama sohor Abu Mus’ab As-Suri. Sosok asli kelahiran Suriah ini lahir sekitar tahun 1954 atau 1956. Dan sempat mengenyam  pendidikan teknik sipil di Italia. Sekitar tahun 1987, ia ke Afghanistan. Begitu meletus peristiwa WTC pada 2001, Pemerintah Amerika Serikat (AS) menangkap Abu Mus'ab As Suri di Afghanistan.

Kitab kondang bertajuk 'Da’wah Muqawwamah Al-Islamiyah' (Dakwah Perlawanan Islam) merupakan karya figur ini. Ia mengarang kitab dengan simbol Al-Muqawwamah yang berarti perlawanan. Tepatnya, perlawanan Islam secara global. Buku ini dua jilid. Jilid pertama merupakan tarikh atau sejarah yang di dalamnya termaktub pelajaran-pelajaran untuk kelompok Jihadis Internasional, Sedangkan yang kedua berisi dakwah, manhaj serta penyelesaiannya. Melalui dua karya tersebut, Abu Mus’ab Al-Suri mengevaluasi perjalanan gerakan Jihad. Koreksi yang sarat otokritik terhadap gerakan jihad.

Kitab lain yang juga ditulis Abu Mus'ab as Suri adalah ''Cara mengaplikasikan Jihad kini''. Dalam buku ini, Abu Mus'ab menjelaskan penerapan jihad dalam situasi kekinian. Ia memang sosok yang punya kepedulian pada situasi saat ini. Kabar terakhir ideolog jihadisme ini adalah keterkaitannya pada kelompok Jabhat Al-Nusra di Suriah. Abu Mus'ab As Suri bergabung ke Jabhat. Ia sempat mencicipi kehidupan di hotel prodeo Guantanamo. Ia harus menghadapi keseharian serba tertutup dalam penjara berfasilitas super maksimum itu. Belakangan, pemerintah AS memulangkannya ke Suriah. Namun, begitu tiba di Suriah, ternyata giliran rezim Basyar Al-Assad yang memenjarakannya.

Abu Mus'ab menulis, perjalanan jihad mempunyai titik lemah. Hal itu dituliskannya dalam uraian “Sebab-Sebab Kegagalan Jihad pada Tahun 1960”. Paparan ini merupakan salah satu bagian dari kitab Da’wah Muqawwamah yang terbit pada tahun 2003, sebelum penulisnya ditangkap Interpol. Diyakininya, ada dua faktor kegagalan jihad, yakni eksternal dan internal. Faktor eksternal disebabkan musuh yang terus menggempur. Sedangkan faktor internal disebabkan diamnya ulama dan orang-orang parlemen. Mereka yang di parlemen berhubungan dengan orang-orang yang berjihad. Kian banyak orang duduk di parlemen, kian berkurang orang yang berjihad.

Sementara itu, terdapat pula tiga kesalahan berjihad. Ketiganya meliputi kesalahan dalam berpikir, struktur, dan cara mengaplikasikan. Kesalahan berpikir merupakan akibat dari langkah Jihadi-Salafi yang terlalu condong ke pemikiran-pemikiran Salafi. Seperti kelompok Jamaah Islamiyah yang menginginkan bagaimana pemikiran-pemikiran Salafi dimasuki pemikiran Jihad. Hal itu dikritik Abu Mus’ab Al-Suri. Pencampuran itu memunculkan dilema, apakah akan mengutamakan aqidah atau cara, untuk menghantam musuh. Ketika cara melawan musuh diprioritaskan, maka aqidahnya rontok karena berkait pada sistem gerilya.

Gerilya merupakan perlawanan kaum lemah terhadap diktator (penguasa). Perlawanan ini mengindikasi terjadinya kezaliman, tatkala kaum lemah ditindas, sehingga kian kuat mendorong gerilya. Pemikiran Salafi yang diadopsi kelompok jihadis memasukkan pemikiran takfiri yang paling menghambat taktik perang gerilya. Karena, jihadis mempunyai keyakinan bahwa mereka (jihadis) tidak akan berjihad sebelum mengkafirkan orang.

Dari Afghanistan di akhir dekade '80an, Abu Mus’ab Al-Suri pergi ke Aljazair yang sedang bergejolak. Front Islamique du Salut (FIS) memenangkan Pemilu. Namun, secara sepihak, junta militer Aljazair melibas FIS. Pada saat itu, warga pegunungan Aljazair yang mengangkat senjata dan berjihad. Mereka keranjingan pemikiran-pemikiran takfiri, sehingga perjuangan mereka gagal. Abu Mus'ab As Suri merenungkan soal ini.

Masalah lain adalah pembinaan. Pembinaan jihad ini masih kurang ketika tahun 1980an, karena sistem rekrutmen yang diterapkan Syaikh Abdullah Azzam bersifat open recruitment. Pola rekrutmen seperti ini memang disambut calon-calon jihadis seluruh dunia. Masalahnya, terjadi percampuran antara orang yang baik dan orang yang jahat, namun hal itu belum menjadi perhatian utama, sebab yang terpenting adalah menggempur Rusia agar hengkang dari Afghanistan.

Terakhir adalah kurang sadarnya perpolitikan, yang menurut Abu Mus’ab As-Suri gerilya berkait erat dengan perpolitikan dan massa. Dan yang merusak jalannya jihad adalah adanya operasi-operasi lokal. Itulah beda Al-Qaeda dari ISIS. Al-Qaeda memprioritaskan musuh luar (far-enemy) seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia. Sedangkan ISIS mendasarkan diri pada Surat At-Taubah ayat 123 yang menyasar orang musyrik yang dekat para mujahidin. Al-Qaeda menyasar WTC, Amerika Serikat karena mengibaratkan AS sebagai kepala ular, jika kepalanya terpotong, maka matilah ular tersebut. Boleh dikata, ISIS mengacu pada tekstual, sedangkan Al-Qaeda selalu kontekstual.

Problem lainnya adalah masalah struktur dan kerahasiaan (konfidensialitas). Dalam gerakan jihadis, yang paling utama adalah memegang rahasia. ''Seperti saya di Afghanistan, saya mengakui orang Indonesia, namun ketika bertemu dengan kawan-kawan yang ada di Akademi Militer Afghanistan, saya disuruh mengaku sebagai orang Filipina, satu kamp semuanya mengaku dari Filipina, tidak ada Indonesia,'' ungkap Abu Fida dalam sebuah obrolan di Surabaya.

Abu Fida menjelaskan, struktur menjadi titik evaluasi Abu Mus’ab. Struktur piramid yang ada pusat, provinsi, kecamatan, kelurahan sampai RT/RW paling bawah. Ada kelemahan dalam struktur demikian, karena kalau salah satu bagian struktur itu tertangkap maka akan merobohkan piramid tersebut. Solusinya adalah sistem gerilya dengan cara lone wolf, artinya menyerang tanpa dikomando. Oleh karena itu, yang terpenting adalah pola pikir, merubah pola pikir, bukan merekrut menjadi anggota, bukan jamannya dibai’at, tapi pola pikir disebar melalui internet. Sebelum Abu Mus'ab As Suri ditangkap, ia merekam dan memasukkan rekaman itu ke dalam CD lalu disebar. Buku lain yang turut menjadi rujukan adalah Harb Al-Musthadafin. Siapapun yang memahami buku ini, akan memahami langkah gerak Al-Qaeda.

Baik ISIS maupun Al-Qaeda mengambil pemikiran perang gerilya dari Abu Mus’ab As-Suri. Inti dari perang gerilya adalah perang semesta bersama orang banyak. Abu Mus’ab As-Suri lebih liberal ketimbang Aman Abdurrahman, karena ia berpandangan bahwa siapapun yang berjuang bersamanya melawan pemerintah yang diktator adalah kawan meskipun berbeda aqidah. Tidak ada bom bunuh diri tanpa sistem gerilya dan infiltrasi, supaya tidak ketahuan. Amerika Serikat pun terpuruk karena taktik gerilya, termasuk di Vietnam.

Untuk menutupi kekalahannya, Amerika Serikat membuat film berjudul Rambo. Orang yang menangani anti-gerilya pasti kalah. AS selalu memperbarui sistemnya untuk melawan gerilya hingga muncul seperti RAND Corporation. Melawan ISIS dan Al-Qaeda sama dengan melawan gerilya, sehingga pada rumusannya, semua orang yang berusaha melawan gerilya, pasti gagal. Pada akhirnya ada rumusan Gerilya Anti Gerilya (GAG), meminjam tangan orang lain untuk menyerbu. Seperti dominasi Cina yang sistem gerilyanya lumayan bagus, meskipun berkuasa tapi mereka selalu tampak seperti orang lemah.

Abu Fida juga menegaskan, di Afghanistan, kekuasaan dipegang oleh kabilah, terutama Kepala Suku, khususnya di daerah perbatasan Afghanistan dan Pakistan. Amerika masuknya tidak melalui kepala suku makanya gagal, saat direvisi dan diterapkan di Irak, akhirnya Amerika mendekati kepala suku dan berhasil.

Abu Fida menjelaskan pula taktik mengenai gerilya di Afghanistan dengan menggunakan pegunungan dan pembakaran. Mujahidin bersembunyi di gunung, dan pembakaran (api unggun) dijadikan sebuah pengalihan sehingga Rusia menyasar api unggun tersebut. Ketika penyerangan tersebut dilancarkan, para mujahidin menyerang dari sisi lain saat fokus pasukan Rusia teralihkan. Adapun kabilah menggunakan anjing sebagai alarm ketika malam. Pagi waktunya istirahat, maghrib persiapan, dan malam adalah waktunya bergerak. Selama mengalihkan perhatian pasukan Rusia, mujahidin Afghanistan disuruh tiarap di gunung sembari menunggu aba-aba menyerang.

Antara ISIS dan Al-Qaeda ada titik temu yakni sama-sama menerapkan taktik gerilya. Daerah-daerah yang mendeklarasikan dirinya berafiliasi pada salah satu kelompok selalu daerah yang mengalami konflik. Di kawasan semacam itu akan menghasilkan manajemen barbar, semakin barbar seseorang maka semakin dekat ia untuk menegakkan Syariat. Pada saat terjadi kekacauan, seseorang akan mengikuti sosok yang dipercayainya, bukan ke pemerintah. Maka dari itu cabang-cabang Al-Qaeda maupun ISIS, 90 persen pasti berada di daerah konflik, seperti Al-Shabaab di Somalia yang berafiliasi pada Al-Qaeda.

Figur lain yang juga dibahas Abu Fida adalah Hani Al-Siba’i, pelarian Suriah yang kini berada di London. Begitupula dengan Abu Qatadah Al-Filistini, namun Abu Qatadah belakangan dideportasi dari Inggris. Abu Fida mengibaratkan sosok Hani Al-Siba’i layaknya PKS di Indonesia, yang parpol itu maju-mundur. Karena bukan eks kombatan Afghanistan, maka Hani aman-aman saja, sedangkan Abu Qatadah harus kembali ke Yordania.

Saat di Afghanistan, Abu Fida sempat masuk kamp Arab. Saat datang, ia dimasukkan dalam grup, dikirim ke kamp Usamah bin Laden. Di kamp itu tugasnya membuat parit dan membangun bunker. Ketika Rusia menyerang, menggunakan mortir, mujahidin yang ada di dalam parit kemungkinan besar aman. Abu Fida pernah membawa peluru RPG, sedangkan temannya membawa pelontarnya, namun mereka terpisah ketika Rusia menyerang. Mereka terpisah saat masih berada di parit. Penggunaan parit ini terinspirasi dari kisah Sahabat Nabi Muhammad, Salman Al-Farisi. Berlindung dalam parit guna menghindari penembak runduk (sniper) juga dilakukan Abu Fida ketika ia terjun dalam konflik Ambon. Abu Fida kerap mencari parit untuk berlindung agar tidak menjadi sasaran tembak.

Selama berada di Afghanistan ia hanya berkomunikasi di front menggunakan walkie-talkie dan menggunakan sandi Bahasa Arab. Surat dari keluarga diperoleh melalui kawan-kawan Yordania. Keluarga Abu Fida di tanah air hanya tahu bahwa ia berangkat ke Yordania. Surat-surat dari keluarga itu diambilnya dari ruang tamu teman-temannya di Yordania. Kalau di kamp 100 persen tidak diperbolehkan mengirim maupun menerima surat.

Abu Fida juga membahas media An-Naba’. Sistem korespondensi An Naba' tidak saling mengenal seperti sistem kerja Wikipedia. An-Naba’ sendiri dicetak mujahidin yang ada di Eropa, karena minimnya internet di Irak dan Suriah. Hal ini kembali lagi kepada Da’wah Muqawwamah, dimana tidak penting membuat organisasi, yang penting adalah pekerjaan selesai. Percuma menghimpun orang terus tertangkap namun pekerjaan belum selesai. Penekanan pada pekerjaan ini menjadikan penyerangan terhadap musuh menjadi lebih sporadis. Contohnya adalah ketika fatwa keluar, siapapun yang membunuh tak masalah, yang penting terlaksana. Sulitnya menemukan penulis dari sebuah artikel Wikipedia sama sulitnya dengan menemukan jaringan teroris, menurut Abu Fida.

Sebagaimana diungkap di atas, hambatan gerilya adalah takfiri. Dalam gerilya tidak boleh saling berhadapan. Serangan dari belakang. Takfiri menyerang dari depan, tidak sesuai dengan gerilya. Gerilya bermain simpati, simpati yang berasal dari masyarakat, meskipun pada titik tertentu harus melunturkan aqidah. Kalau di Aljazair, kelompok takfiri dipupuk untuk melawan kelompok yang bergerilya. Pecahnya ISIS juga karena diinfiltrasi oleh takfiri. Gerilya adalah produk orang komunis seperti di Kuba, Fidel Castro. Bahwa gerilya identik dengan komunis dibantah oleh Abu Mus’ab Al-Suri, Menurutnya, yang terpenting mengambil taktik gerilya dari komunis namun bukan prinsip komunismenya. Apabila gerilya adalah taktik perang dimana orang lemah melawan orang kuat, maka gerilya ada dimana-mana. Sebagai catatan penutup, karya Abu Mus’ab Al-Suri telah digalakkan untuk dibaca oleh semua anggota Al-Qaeda setelah tragedi WTC. Terutama dalam forum-forum berbahasa Arab.*

Narasumber Ustadz Abu Fida
Editor Reza Maulana Hikam




Post a Comment

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates