Sepak Terjang Abu Fida, Mantan Anggota Jamaah Islamiyah asal Surabaya



Pria sederhana itu bernama Syaifuddin Umar alias Abu Fida, sebuah nama panggilan yang diberikan oleh kawannya dari Pakistan ketika berangkat ke negeri tetangga India tersebut. Kami bertemu dengan Abu Fida di Restoran Ayla di daerah Wisata Religi Sunan Ampel di Surabaya, restoran makanan timur tengah yang juga menyediakan shisha. Saat itu jarum jam menunjuk pada angka 13.30, kami memulai pembicaraan dengan memperkenalkan diri masing-masing, termasuk Abu Fida.


Kajian-kajian yang diberikan oleh Dr. Abdullah Azzam selama di kampnya telah direkam dan nantinya akan ditranskrip dan diterjemahkan menjadi buku Tarbiyah Jihadiyah. Selama di kamp ini, Abu Fida dikenal sebagai orang Filipina, bukan Indonesia, karena di Filipina sudah ada perjuangan Bangsa Moro, padahal menurut Abu Fida , bahwa yang mengajari orang Filipina adalah orang Indonesia juga. Selama di kamp ini, semua logistik (termasuk makan dan minum) dijamin oleh Dr. Abdullah Azzam. Ia adalah satu-satunya orang Indonesia dalam kamp tersebut, sehingga patut disebut bahwa beliau adalah murid langsung dari Dr. Abdullah Azzam. Kamp ini berbentuk barak yang ada kamar mandi dan dapurnya.

Semenjak tahun 2000an, beliau mengikuti pemikiran-pemikiran Dr. Abdullah Azzam melalui internet, di mana beliau menyebutkan seperti layaknya bernostalgia semasa belajar di Kamp. Ia juga menyampaikan bahwa Abu Musab Al-Zarqawi maupun Abu Bakar Al-Baghdadi terinsipirasi oleh Dr. Abdullah Azzam. Istilah Al-Qaeda sendiri menurut Abu Fida’ mulai muncul pada tahun 2000, terutama setelah peristiwa 9/11 di Amerika Serikat. Setelah kejadian WTC tersebut maka Amerika melawan Afghanistan dengan menginvasinya dan gejolak ini tidak hanya terjadi di Afghanistan, melainkan pula di Irak. Di Irak inilah Abu Musab Al-Zarqawi mengembangkan pemikiran dari Osama bin Laden dan mendirikan gerakan bernama Tauhid wal Jihad, beberapa tahun kemudian mendirikan Al-Qaeda di Irak.

Dari sisi audio, menurut Abu Fida, Osama bin Laden pernah melontarkan terkait Khilafah tapi hanya secara tersirat, tidak tersurat di Irak.

Abu Fida mengaku tidak kenal kelompok yang mendukung ISIS yang di deklarasikan 2014, beliau hanya mengikuti kabar terkait ISIS melalui internet. Pernah diundang ke Solo pada Ramadhan 2014, di masjid tempat beliau memenuhi undangan tersebut ia bahkan bertemu dengan intel penyidik dari Densus 88 yang pernah menangkap beliau. Setelah Ramadhan 2014 ia berangkat ke Turki dan berencana untuk menyebrang ke Suriah, namun di deportasi. Abu Fida mengutarakan bahwa lenturnya penggunaan kata radikalisme justru mempersulit penyelesaian dengan deradikalisasi. Apabila pemaknaan ini lentur maka permasalahan lain muncul: “politik like and dislike” tutur beliau.
Pasca dibebaskan pada tahun 2017 masih ada pengawasan dan banyak pihak dari aparat datang ke rumahnya. Beberapa kali didatangi oleh aparat apabila akan ada event-event seperti Asian Games. Beliau tidak perlu laporan ke Kantor Kepolisian karena bukan Pembebasan Bersyarat. Di lingkungan rumahnya pun tidak pernah ada paksaan untuk mengikuti acara Agustusan, hanya diminta untuk memasang bendera merah putih apabila masuk waktu Hari Kemerdekaan Indonesia itu.

Ia juga merupakan murid dari Muhammad Said Al-Qahthani, penulis kitab Al-Wala’ wal Bara’ dan mengaji dibawah bimbingan Muhammad Quthb, adik dari Sayyid Quthb, seorang figur sentral di gerakan Ikhwanul Muslimin. Ia menjelaskan bahwa Muhammad Quthb melarikan diri dari Mesir ke Saudi Arabia dan mengajar di Universitas Ummul Qura’ untuk S2, namun Abu Fida izin untuk mengikuti perkuliahannya. Ia mengaku bahwa Muhammad Quthb tidak jauh berbeda dengan Sayyid Quthb.

Setelah mendiskusikan tentang Muhammad Quthb, Abu Fida menyampaikan bahwa orang tertarik ke ISIS karena tawaran-tawaran yang diberikan ISIS. Pemikiran ISIS di Indonesia di dominasi oleh Aman Abdurrahman. Menurut Abu Fida, pikiran Aman relatif kemana-mana, terutama mengikuti Abu Muhammad Al-Maqdisy, namun berpindah halauan karena Al-Maqdisy melakukan revisi terhadap pemikiran-pemikirannya. Pikiran-pikiran ISIS dominan berasal dari dunia maya, begitupula pola rekrutmennya melalui dunia maya. Aman Abdurrahman sendiri menurut Abu Fida, merupakan lulusan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA). Aman Abdurrahman mempelajari pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab. Salah satunya adalah buku 10 Pembatal Islam yang nantinya akan menjadi pegangan pokok Aman Abdurrahman. Ketika Al-Maqdisy melakukan revisi terhadap pemikirannya, maka Aman Abdurrahman juga mencabut pemikiran Al-Maqdisy dari pikirannya. 

Menurut Abu Fida yang berbahaya bukan hanya Aman Abdurrahman namun para pembisiknya yang banyak mendapatkan referensi dari dunia maya. Saat bertemu Aman Abdurrahman di LP Cipinang, Abu Fida berbicang mengenai takfir karena kurang setuuju dengan konsep pen-takfiran dari Aman Abdurrahman. Beliau berdiskusi dengan Aman Abdurrahman terkait konsep takfir mutlak dan takfir mu’ayyan, dimana Aman menjawab dengan kurang memuaskan karena ada istilah-istilah yang tidak sesuai. Namun penekanan Aman adalah pada takfir mu’ayyan yang sudah pasti seperti polisi, sebutannya anshorut thogut (pembantunya thogut).

Aman Abdurrahman, menurut Abu Fida, sangat dominan pemikiran tauhidnya, terutama Al-Wala’ wal Bara’. Sekelilingnya kerap kali mengunduh dan mencetakkan buku-buku kelompok Mujahidin dari internet salah satunya Da’wat al-muqawwamah karya Abu Mus’ab As-Sury. Apapun kitab yang diberikan kepada Aman, materi tauhid adalah materi utama yang dicari dan dipelajari olehnya. Sehingga pembahasan tentang tauhid dari Aman Abdurrahman sangat berpengaruh pada orang JI (Jamaah Islamiyah), JI sendiri, menurut Abu Fida, terpecah menjadi tiga: Neo-JI (berisi para pemuda), JI yang terpengaruh oleh ISIS, dan JI Konservatif (golongan tua). Bagi beliau, Neo-JI lebih menakutkan ketimbang ISIS karena mereka mengembangkan militer, saat Abu Fida di Mako Brimob ia menemukan barang bukti berupa Mesin Bubut yang digunakan untuk membuat senjata. Neo-JI ini hanya mendengarkan JI konservatif kalau ada yang merekomendasikan kepada mereka. Beberapa pendukung ISIS dari JI merupakan “alumni” NK (Nusa Kambangan) yang baiat bersama Ustad Abu Bakar Ba’asyir.

Bagi Abu Fida, rumus dari deradikalisasi adalah: “bagaimana pintu masuknya begitupula hal tersebut adalah pintu keluarnya”, maksudnya adalah bagaimana seseorang bisa bergabung dengan sebuah kelompok radikal (siapa yang mengajak dan belajar dari mana) adalah kuncinya untuk mereka keluar dari pandangan radikal itu. Jika ada seseorang yang masuk ke dalam pemikiran radikal karena seorang Ustad, maka Ustad tersebutlah yang menjadi jalan keluarnya. Jadi cara keluarnya tidak bisa disamaratakan. Di Mako Brimob, program deradikalisasi mengundang beberapa orang, namun hasilnya mental karena pintu masuknya bukan dari orang-orang yang diundang. Untuk melakukan deradikalisasi, apabila yang dihadapi adalah alumni JI yang lama (JI konservatif), Abu Fida berargumen, bahwa perlu melibatkan sesama alumni JI karena pola pikirnya sama sama berasal dari NII.

Perkara deradikalisasi, Abu Fida juga mengutarakan bahwa pada prinsipnya seseorang akan mengikuti lingkungan dan komunitasnya, maka diperlukan untuk menciptakan komunitas-komunitas, maka seseorang akan mengikuti sekitarnya. Kalau tidak ada komunitas yang menaunginya maka dia akan mudah “kambuh” lagi. Menurut Abu Fida, seorang narapidana teroris kembali ke jalan radikal karena tidak mendapatkan kepuasan ideologi. Pria berdomisili Sidotopo ini juga pernah mendapati deradikalisasi oleh BNPT dalam bentuk dialog dengan anggota BNPT, ketika di LP Magelang sering dijenguk oleh peneliti-peneliti seperti Solahudin dan anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan dipertemukan dengan korban Bom JW Marriot.

Ketika ada pengeboman di Surabaya pada 2018 silam, Abu Fida diawasi oleh aparat keamanan dalam grup-grup kecil. Lalu beliau ditamui oleh Ali Fauzi, ketika tragedi tersebut terjadi, Abu Fida tidak membawa alat komunikasi, sehingga Ali Fauzi mengontak Abu Fida melalui istrinya, lalu istrinya memberitahu Abu Fida.

Diskusi ditutup dengan penjelasan dari Abu Fida mengenai kekerasan aparat ketika penangkapan, salah satunya ditendang, lalu diikat, menurutnya, hal seperti itu terjadi karena permasalahan semacam ini bukan kasus hukum melainkan kasus politik. Kadarnya 90% politik, 10% nya hukum, kalau kata hukumya tidak boleh tapi dalam politiknya boleh. Politiknya berupa brainwash: “kalau kamu ingin merubah orang itu maka kamu harus menyiksanya” ujar Abu Fida. 

Salah satu analogi yang digunakan oleh Abu Fida adalah layaknya Topeng Monyet. Tidak hanya siksaan secara fisik maupun psikis dengan mata tertutup, ketika Abu Fida, hal seperti itu terjadi selama tujuh hari. Sebelum melakukan penyiksaan, aparat berkata “apa permintaanmu terakhir?”. Abu Fida mengaku ia sangat terancam karena perkataan semacam ini memunculkan pikiran bahwa ia akan dibunuh.



Beliau merupakan lelaki kelahiran Surabaya yang berdomisili di Sidotopo. Seorang lulusan Pondok Pesantren Gontor yang lulus pada tahun 1984 dan pernah mengajar selama satu tahun di Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki pada tahun 1985. Ia juga merupakan lulusan S1 Universitas Ummul Qura’, Mekkah, Saudi Arabia yang mendalami jurusan Aqidah pada tahun 1990 dan selesai ditahun 1996. Semasa kuliahnya ia acapkali berdebat dengan K.H. Said Aqil Siroj semasa kuliahnya. Mengaji dibawah arahan Dr. Abdullah Azzam, seorang ideolog Mujahidin Afghanistan yang mendirikan Maktab Al-Khidmat, embrio Al-Qaeda selama enam bulan. Dalam enam bulan tersebut, materi kajian termasuk Siroh, Tajwid dan Fiqh Jihad. Pernah diturunkan di front Afghanistan yang dipimpin oleh Osama bin Laden sendiri. Di front ini ia bertemu dengan kawan-kawan dari Indonesia yang merupakan lulusan Akademi Militer Afghanistan.



Narasumber: Ustadz Abu Fida

Editor: Reza Maulana Hikam

Post a Comment

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates