Oleh Reza Maulana Hikam
(Penanggung Jawab Resensi Buku)
Penulis: Khairul Ghazali
Penerbit: Daulat Press
Tebal Buku: vi+158 Halaman
Tahun Terbit: 2015
ISBN: 978-602-18138-6-7
Jihad, kata tersebut selalu dilingkupi oleh ketakutan bagi siapapun
yang mendengarnya. Terutama kalangan awam akan menganggap pekikan Takbir
dan penggunaan kata Jihad sebagai slogan atau istilah yang akan
mengancam nyawa mereka.
Hal itu terjadi karena adanya penyesatan terhadap makna jihad
yang selalu disandingkan dengan peperangan. Dalam Islam sendiri, Jihad
tidak semata-mata berperang melawan musuh fisik, namun ada penjelasan
lebih lanjut, dan dalam buku ini, Khairul Ghazali akan mengutarakannya
dengan gambling.
Sebagai
negara yang sudah mengenal pemberontakan dibalut dengan agama (DI/TII),
Indonesia memiliki tendensi yang sedikit negatif terhadap kata Jihad.
Kartosoewiryo yang merupakan pimpinan DI/TII juga menggunakan kata ini
guna melawan pemerintahan berdaulat Republik Indonesia. Permasalahan
semacam ini terus berkembang hingga Jamaah Islamiyah dan yang terbaru
adalah Jamaah Ansharut Daulah.
Khairul berargumen bahwa pemahaman
terhadap terorisme sangatlah lemah dipemikiran kelompok teroris yang
meskipun sudah masuk ke Lembaga Pemasyarakatan, masih bersikukuh untuk
melakukan tindakan serupa apabila bebas. Para teroris ini, selalu
memiliki pembenaran dengan caranya sendiri yang tidak terlepas dari
penggunaan dalil-dalil agama sebagai balutan tujuan politisnya. Kaidah
agama akan ditafsirkan dan dimanipulasi untuk keuntungan mereka.
Bisa dilihat dari penjelasan diatas, Khairul berusaha menekankan
bahwa agama (Islam) tidak menyuruh untuk melakukan teror, melainkan
dijadikan instrumen dengan tafsiran yang cenderung sembarangan untuk
membenarkan sebuah aksi teror. Terorisme selalu menggunakan kekerasan
dan sasarannya adalah masyarakat sipil. Pandangan terorisme semacam
inilah yang berbahaya. Terorisme tidak memiliki sasaran tertentu
sehingga pelaku teror tidak terikat dengan Konvensi Jenewa, yang
implikasinya, tindakan terhadap mereka tidak bisa dilaksanakan dengan
pedoman Konvensi tersebut.
Terorisme menyasar penduduk sipil juga
karena bertujuan untuk menanamkan rasa takut kepada khalayak umum. Cara
untuk menyebarkan rasa takut ini dapat melalui bom bunuh diri
(istisyhadiah) atau gerilya (ightiyalat). Teror jelas berbeda dengan
Jihad menurut Khairul, karena untuk melaksanakan Jihad harus memiliki
tujuan yang mulia dan dilakukan dengan cara yang mulia dan beradab,
karena Jihad adalah amalan puncak Islam, dan tidak mungkin amalan puncak
ini memiliki tujuan yang biadab seperti aksi teror.
Guna
mengartikan Jihad secara komprehensif nan singkat, penulis mengutip dari
Raghib Al-Ishafani, Ibnu Qayim Al-Jauziyah & Fakhrudin Al-Razi.
Ketiganya memiliki persamaan yakni mengartikan Jihad sebagai perjuangan.
Adapun perjuangan ini diutamakan melawan hawa nafsu. Perjuangan dengan
menggunakan segenap kemampuan dan potensi demi sebuah tujuan yang mulia.
Tujuannya ialah: kebaikan, kebenaraan, kemuliaan dan kedamaian.
Penulis
juga menyebutkan beberapa surat Al-Qur’an berkenaan dengan Jihad yakni
Al-Furqan ayat 52, surah Lukman ayat 41, Al-Ankabut ayat 8, at-Tahrim
ayat 9 dan At-Taubah ayat 41. Seluruh surat beserta ayatnya ini turun
sebagai surat Makkiyah, sebelum Rasulullah Muhammad S.A.W melakukan
hijrah dan menekankan perjuangan sebagai suatu hal yang bukan berperang
fisik, tapi lebih kepada penyucian diri.
Selain mengulas tentang
Jihad, Khairul juga berusaha mengaitkan teror dalam kaidah Bahasa Arab
yang bukan Jihad, melainkan Al-Irhab, karena Al-Irhab memiliki makna
“menggetarkan” yang sesuai dengan kata “teror” yang bertujuan untuk
menebar ketakutan. Dengan pemaknaan ini, maka pelaku teror tidak sah
disebut sebagai mujahidin, melainkan Irhabi (pelaku teror).
Tidak
hanya secara kaidah bahasa Arab, penulis juga mengartikan terorisme
melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Convention of the Organization
of Islamic Conference on Combating International Terrorism di tahun 1999
yang keduanya menekankan sisi “ketakutan” dalam tindak teror. Pemaknaan
secara harfiah maupun tafsiran diatas memperlihatkan bahwa Islam
sendiri tidak memiliki hubungan dengan tindak terorisme. Namun dalam
beberapa rujukan masih ada bias yang mengaitkan terrorism dengan Islam,
menjadi Islamic Terrorism.
Khairul juga memperlihatkan bahwa
penanganan terorisme di Indonesia hanya berada di hilir, yakni bersifat
reaktif, hanya keluar ketika terjadi tindakan terorisme saja. Padahal ia
berargumen bahwa bibit-bibit radikalisme yang menjelma menjadi
terorisme terus berkembang dikalangan pemuda di Indonesia. Kelompok
pemuda inilah yang utamanya harus menjadi sasaran kebijakan
penanggulangan terorisme di Indonesia.
Adapun penulis juga
mengulas tentang fakto sosial dan psikologis dimana seseorang berkenan
melakukan tindak terorisme. Faktor sosiologis disebabkan karena
bertempat tinggal di wilayah yang sedang dilanda konflik membuat
individu mau melakukan kekerasan bahkan sampai pada titik menteror
musuhnya. Dicontohkan oleh penulis di negara seperti Irlandia,
Palestina, Syiria, Iraq, dan Libia. Lalu contoh di dalam negeri
mengambil daerah Aceh, Poso, dan Papua.
Faktor psikologis yang
dijelaskan penulis menekankan kepada pencarian identitas, kurang lebih
sama dengan penjelasan Farhad Khoskovar dan Gilles Kepel dalam bukunya
masing-masing mengenai bagaimana seorang pemuda yang mencari jati diri
jatuh ke dekapan radikalisme. Penulis berargumen bahwa adanya konsep
loyalitas yang kuat (baiat) terhadap pimpinannya (amir) agar mendapatkan
tempat di Surga menjadi tawaran yang menggiurkan bagi mereka yang
bergabung dengan kelompok teroris.
Seseorang dapat bergabung dan
bertahan dalam sebuah kelompok teroris karena merasa adanya kesamaan
misi antara dirinya dengan kelompok tersebut, urai Khairul Ghazali.
Ditambah dengan kebencian yang sudah mengakar dalam individu tersebut
yang dapat disalurkan melalui tindakan kelompok teroris, membuat
anggota-anggota kelompok ini juga semakin loyal dan militan.
Perlunya menanamkan ajaran untuk mencintai dan mengampuni musuh juga
perlu ditanamkan dalam benak individu yang terpapar radikalisme.
Inspirasi kelompok radikal ini didapat dari kelompok Khawarij yang
selalu mengkafirkan sesama umat Islam yang tidak sesuai dengan
pandangannya.
Masih banyak permasalahan lain yang diulas secara
mendalam oleh Khairul Ghazali mengenai seluk-beluk radikalisasi dan
usaha beliau untuk membedakan Aksi Teror dengan Jihad. Buku ini pada Bab
2 memiliki kesamaan dengan karya Farhad Khoskhovar: Radicalization yang
mengulas mengenai alasan-alasan kenapa seseorang menjadi radikal.
Terutama pada penjelasan mengenai pencarian identitas yang keduanya
menjelaskan tentang permasalahan itu di benak pemuda yang gabung dengan
kelompok teroris.
Karya Ghazali ini dapat menjadi pedoman singkat
guna memahami makna Jihad, mencegah pemikiran radikal masuk dan mengasah
nalar kritis kita terhadap ajaran-ajaran dogmatis kelompok teroris yang
kerap menyasar para pemuda. Agenda-agenda yang bertujuan melakukan
deradikalisasi dan mencegah terorisme harus memasukkan buku ini dalam
daftar rujukannya.
Pernah tayang di: Geotimes
Post a Comment