Menakar Akar Kekerasan Terhadap Komunitas Syiah

Sumber Gambar: nahimunkar.org


Oleh Prihandono Wibowo
(Direktur Center for Radicalism and Extremism Studies)



Medio Februari 2019, dunia internasional dikejutkan dengan peristiwa pembunuhan Zakariya Bader al-Jabir, seorang anak berusia 6 tahun, di Madinah, Arab Saudi. Zakariya dibunuh secara brutal oleh seorang supir taksi di tengah perjalanan menuju Masjid Nabawi. Dilaporkan sang supir taksi membunuh Zakariya dengan cara menusukkan pecahan kaca ke leher anak tersebut. Zakariya dibunuh di depan umum dan ibunya hanya dapat menyaksikan kebrutalan tersebut. Motif pembunuhan tersebut Pembunuhan tersebut mendapat liputan dari media internasional. Media Iran dan Media Barat menyebut bahwa motif pembunuhan Zakariya adalah disebabkan sang supir taksi mengetahui Zakariya dan ibunya beridentitas Syiah. Sedangkan media Saudi menyebutkan pelaku pembunuhan adalah penderita kelainan mental, tanpa menyebut permasalahan Syiah sama sekali. Sementara pemerintah Saudi tidak memberikan konfirmasi sama sekali terhadap peristiwa tersebut.

Jika peristiwa tersebut benar disebabkan karena permasalahan Syiah, maka hal ini menambah daftar Panjang persekusi terhadap komunitas Syiah di Arab Saudi. Sebelumnya, ulama Syiah Saudi, Nimr Baqir an-Nimr, dieksekusi mati oleh rezim Saudi pada 2016 dengan tuduhan makar. Persitiwa Nimr menimbulkan ketegangan diplomatic antara Saudi dengan Iran. Pada perkembangan aktual, April 2019, Saudi mengeksekusi mati 37 orang terkait peristiwa terorisme. 32 di antaranya adalah penganut Syiah. Mereka dituduh mengadopsi pemikiran ekstrim dan bergabung dengan kelompok terorisme.
Persekusi terhadap kelompok Syiah tidak hanya terjadi di Arab Saudi. Shia right watch menjelaskan bentuk-bentuk persekusi terhadap komunitas Syiah di berbagai negara. Persekusi diantaranya berupa penangkapan, pembunuhan, penyiksaan, pengeboman, hate speech, kampanye anti-Syiah di media, tuduhan terkait terorisme, pengabaian hak dasar seperti akses terhadap obat-obatan, dan institusionalisasi regulasi anti-Syiah.
Secara makro, persekusi ini dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, persekusi disebabkan murni karena pertentangan bermotif keimanan antara kelompok mayoritas Sunni dengan kelompok minortas Syiah. Pertentangan berusia ribuan tahun yang diakibatkan perdebatan siapa yang berhak menggantikan nabi pasca wafat beliau, berlanjut hingga masa kini. Beberapa retorika digunakan kelompok mayoritas untuk menyebut Syiah sebagai sempalan dari agama Islam. Tidak sekedar sempalan, namun juga dipandang sesat dan telah keluar dari Islam. Tuduhan-tuduhan seperti Syiah menuhankan Ali, Syiah meyakini bahwa Al Quran telah diubah, Syiah mencaci maki figur yang dihormati Sunni, Syiah berkali-kali mengkhianati Islam, dan tuduhan sebagainya menjadi tuduhan yang umum dikenakan terhadap kelompok Syiah. Tuduhan-tuduhan semacam ini dapat kita temui di beragam publikasi keagamaan, baik yang berbahasa Arab, Inggris, maupun Indonesia. Tuduhan-tuduhan semacam ini lantas menjadi pembenaran untuk melakukan kekerasan, baik secara langsung, struktural, maupun kultural, terhadap komunitas Syiah. Yang menarik, tuduhan-tuduhan ini juga digunakan ISIS untuk membantai komunitas Syiah di Irak.
Perspektif kedua menjelaskan bahwa persekusi terhadap komunitas Syiah bukan disebabkan oleh masalah keimanan. Sebaliknya masalah keimanan hanya dijadikan topeng identitas. Permasalahan keimanan telah selesai ribuan tahun yang lalu. Komunitas Syiah dan Sunni terbukti telah rukun selama ratusan tahun. Bahkan hidup berkomunitas, saling menikahi, dan saling bertetangga, bahkan saling bekerjasama mengusir kekuatan kolonial telah dijalani oleh antar kedua komunitas tersebut. Menurut perspektif ini, persekusi terhadap komunitas Syiah di zaman kontemporer adalah imbas dari persaingan geopoltik antara Arab Saudi dan Iran, serta perebutan sumber daya politik dan kekuasaan antara komunitas Syiah dan Sunni di berbagai negara. Menurut Vali Nasr, kecenderungan ini terjadi sejak runtuhnya rezim Saddam Hussein karena invasi AS ke Irak pada 2003. Runtuhnya rezim Saddam Hussein memungkinkan terbukanya kelompok Syiah Irak menjadi penguasa baru Irak. Iran dapat memperluas pengaruhnya ke Irak dengan bekerjasama dengan rezim Irak baru yang didominasi Syiah Keseimbangan politik baru di Irak dikhawatirkan meluas ke negara-negara Timur Tengah lainnya.   Untuk membendung ancaman dan pengaruh Iran dan identitas Syiah, Saudi rutin menggunakan retorika-retorika setarian. Peringatan Saudi diikuti pimpinan negara-negara Timur Tengah lainnya mengingatkan pertumbuhan oengaruh Iran dan bantuan Iran terhadap kelompok-kelompok Syiah di Timur Tengah. Kecenderungan ini berlangsung dan menemukan lagi momentumnya pada peristiwa Arab Spring. Dimana proses demokratisasi berhasil menggulingkan beberapa rezim otoriter di Timur Tengah. Minoritas Syiah di yang memprotes ketidakadilan rezim pemerintah dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas negara. Kembali idenitas sektarian digunakan untuk membendung trend perubahan ini.
 Menakar persekusi terhadap komunitas Syiah di dunia global memang tidak dapat dijelaskan sederhana seperti di atas. Terdapat beragam variable dan kompleksitas di masing-masing negara yang menyebabkan terjadinya kekerasan dan persekusi terhadap komunitas Syiah di banyak negara. Gambaran di atas hanya penyederhanaan pemahaman mengenai masalah persekusi terhadap minoritas Syiah. Hanya saja yang patut diperhatikan adalah kekerasan terhadap komunitas Syiah tidak dapat dibenarkan (baik dalam bentuk langsung, structural, maupun kultural). Perbedaan cabang keyakinan tidak dapat menjadi dasar legitimasi melakukan kekerasan terhadap sebuah kelompok. Terlebih dalam konteks Sunni-Syiah, telah dicapai beragam pendekatan oleh kedua komunitas baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Telah dicapai beragam deklarasi, dialog, dan pertemuan antar madzhab di tingkat internasional untuk meminimalisir kesalahpahaman antara komunitas Sunni dan Syiah dalam bidang keimanan. Kedua, memahami ketegangan tersebut juga tidak dapat disederhanakan karena masalah keimanan semata. Terdapat faktor geopolitik global yang turut “bermain” dalam masalah ini dalam rangka persaingan kekuatan Timur Tengah. Karena itu, tidak selayaknya latah turut serta terjebak pada narasi sektarian dan pemahaman ekstrimisme dalam hal ini.   


Post a Comment

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates