Merespon Wacana Kepulangan Eks-ISIS ke Indonesia

Pengungsi asal Indonesia di kamp pengungsian saat perang ISIS di Suriah (Foto: Afshin Ismaeli via Tirto.id)--CRES
Pengungsi asal Indonesia di kamp pengungsian saat perang ISIS di Suriah (Foto: Afshin Ismaeli via Tirto.id)

ISIS pernah berjaya pada 2014-2016. Dalam tahun-tahun tersebut, ISIS menguasai wilayah luas dan strategis di Irak dan Syria. Kota-kota kunci seperti Raqqah di Syria dan Mosul di Irak menjadi basis ISIS. ISIS bahkan mendeklarasikan dirinya sebagai khilafah, sebuah sistem ideal dalam konsep kepemimpinan dunia Islam. Namun pada 2017, ISIS mengalami kemunduran akibat kekalahan di berbagai front pertempuran. Pemerintah Irak, pemerintah Syria, dan otoritas Kurdi, berhasil merebut kembali berbagai wilayah yang sebelumnya dikuasai ISIS. Pada 2019, Pasukan Demokratik Suriah (SDF)  yang didukung Amerika Serikat (AS) berhasil merebut Baghouz, benteng terakhir ISIS di Syria. ISIS dinyatakan kalah total.
Permasalahan pasca ISIS adalah bagaimana pemulangan terhadap eks-kombatan dan keluarganya. Sejak fase kemunduran ISIS, diperkirakan 7300 pendukung ISIS dari berbagai negara telah pulang ke negaranya masing-masing. Namun pasca kekalahan ISIS di Baghouz, dilaporkan Pasukan SDF masih memenjarakan sekitar 6000 kombatan eks-ISIS, serta menahan sekitar 73000 keluarga pendukung ISIS dari berbagai negara di kamp pengungsi. Tidak diketahui pasti berapa jumlah warga negara Indonesia yang menjadi kombatan maupun simpatisan ISIS di Syria. Diperkirakan masih terdapat ratusan warga negara Indonesia yang masih ditahan di Syria akibat aktivitasnya pernah menjadi pendukung ISIS. Otoritas Kurdi di Syria bersedia mengembalikan warga negara Indonesia eks-ISIS asalkan ada permintaan dari pemerintah Indonesia. Kontroversi yang lantas berkembang di publik Indonesia adalah apakah perlu atau tidak untuk memulangkan warga negara Indonesia yang pernah “berhijrah” bergabung ke ISIS.
Pendapat yang populer dalam publik Indonesia terhadap masalah ini adalah menolak kembalinya eks pendukung ISIS ke Indonesia. Alasannya, pertama, publik masih belum dapat melupakan bagaimana sikap pendukung ISIS asal Indonesia terhadap negara Indonesia. Dalam berbagai propagandanya, para pendukung ISIS asal Indonesia tersebut menantang aparat keamanan Indonesia untuk berperang melawan ISIS. Para pendukung ISIS juga mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang tidak diatur hukum Allah, sehingga mereka memilih berhijrah ke “khilafah” ISIS. Khilafah ISIS dianggap sebagai negara yang mampu menegakkan hukum Allah di muka bumi. Selain itu, dalam berbagai propagandanya, para pendukung ISIS asal Indonesia memperlihatkan bahwa mereka membakar paspor Indonesia yang mereka miliki. Karena alasan ini, publik melihat bahwa para jihadis ISIS dan para simpatisannya memang tidak lagi membutuhkan negara Indonesia dan lebih memilih menjadi warga negara “khilafah” ISIS. Kengerian propaganda tempur ISIS di Irak dan Syria menambah trauma publik akan sepak terjang para individual anggota dan simpatisan ISIS.
Argumen kedua, adalah masalah potensi keamanan.  Publik belum dapat melupakan fakta bahwa sel-sel ISIS yang bermukim di Indonesia telah melakukan beberapa kali aksi terorisme di beberapa kota besar di Indonesia. Publik menilai bahwa para mantan kombatan maupun simpatisan ISIS telah mengalami radikalisasi di Syria. Dalam beberapa video propagandanya, para pendukung ISIS melakukan indoktrinasi terhadap anak-anak dan remaja. Di salah satu video propagandanya, diperlihatkan bagaimana para kombatan ISIS mengajarkan latihan menggunakan senjata dan menanamkan akidah kepada anak-anak dan remaja. Jika diizinkan kembali, maka mereka dapat menguatkan potensi radikalisme di Indonesia. Eks-kombatan juga memiliki pengalaman tempur dan keahlian militer dapat menjadi ancaman potensi terorisme di Indonesia. 
Argumen ketiga, dari sisi hukum, warga negara Indonesia dapat kehilangan kewarganegaraannya ketika bergabung dengan negara dan tentara lain tanpa seizin presiden. Jika ditafsirkan bahwa bergabung dengan ISIS termasuk dalam pelanggaran ini, maka para kombatan dan simpatisan ISIS seharusnya sudah bukan lagi warga negara Indonesia, sehingga pemerintah tidak perlu memulangkan mereka. Para kombatan maupun simpatisan ISIS telah memilih hidup di “khilafah” ISIS. Argumen lain yang masih berkaitan adalah pengalaman beberapa negara besar yang  melarang warganya yang pernah tergabung dengan ISIS untuk pulang kembali ke negaranya. Eropa misalnya, menolak warganya yang bergabung ISIS di Syria untuk kembali ke Eropa. Pada 2019 misalnya, pemerintah Australia sedang merancang rancangan undang-undang untuk melarang warganya yang pernah tergabung dengan ISIS untuk kembali ke Australia.
Dengan beberapa argumen tersebut, sebagian publik Indonesia merasa keberatan terhadap wacana pemulangan eks-ISIS ke Indonesia. Para eks-ISIS dianggap sebagai pengkhianat negara. Bahkan sebagian publik di Indonesia menginginkan para eks-ISIS dibiarkan berstatus stateless.  Pemerintah Indonesia masih belum menentukan sikap resmi atas wacana ini. Beberapa pejabat pemerintah menyatakan bahwa pemulangan warga negara Indonesia eks-ISIS memerlukan waktu panjang dan proses yang tidak mudah. Harus ada koordinasi lintas sektor terlebih dahulu menyikapi wacana pemulangan eks-ISIS. Ditambah dengan fakta bahwa tidak ada data pasti berapa dan siapa warga negara Indonesia yang masih berada dalam penahanan di Syria. 
Sebagian publik lain menyatakan menerima mantan pendukung ISIS asal Indonesia yang masih berada di Syria. Argumennya adalah masalah kemanusiaan. Alasan lain melalui tafsiran hukum, mereka belum kehilangan status sebagai warga negara Indonesia. Argumen ini ditambah dengan fakta, tidak semua yang bergabung dengan ISIS adalah karena alasan ideologis. Ada beberapa individu yang bergabung dengan ISIS hanya karena tergiur mendapat kebutuhan hidup yang terjamin, seperti pekerjaan, pengobatan gratis, dan komoditas murah. Ada pula yang bergabung dengan ISIS karena terbuai dengan propaganda internet mengenai klaim ISIS mengenai khilafah di akhir zaman. Ada pula yang bergabung dengan ISIS namun menolak untuk bertempur, dan dipaksa bekerja di sektor pendukung, seperti tenaga kesehatan dan tenaga IT . Ada pula yang bergabung dengan ISIS hanya dengan alasan mengikuti anggota keluarga yang lain. Tidak sedikit pula dari warga negara Indonesia eks-ISIS yang menyesal telah bergabung dengan ISIS. Mereka mengatakan bahwa ISIS adalah kelompok pembohong karena propaganda ISIS melalui internet semuanya tidak benar. Tidak pernah ada jaminan kesehatan gratis dan tidak ada pula jaminan pekerjaan. Kehidupan sehari-hari di “khilafah” ISIS hanya dipenuhi peperangan dengan musuh ISIS dan konflik internal antar sesama anggota ISIS. Para mantan pendukung ISIS ini menyatakan menyesal bergabung ISIS dan menyatakan ingin kembali ke kehidupan normal di Indonesia sebelum mereka berangkat ke Syria. 

Karena itu, jika memang para mantan kombatan dan simpatisan ISIS dipulangkan kembali ke Indonesia, perlu dibuat klasifikasi dan profil lengkap secara cermat terhadap para individu tersebut. Pemulangan tersebut harus dilaksanakan dengan pengawasan ketat dan penegakan hukum berdasar peraturan yang ada. Harus dibuat klasifikasi dan pengawasan yang cermat bagi setiap individu yang pernah bergabung dengan ISIS. Mereka harus diukur tingkat radikalisme-nya. Penegakan hukum dan proses deradikalisasi berhasil jika telah mengukur tingkat radikalisme sebelumnya. Selain itu, diperlukan pendampingan, pengawasan, dan monitor. Tugas ini idealnya tidak hanya dibebankan kepada aparat keamanan dan pemerintah pusat, namun melibatkan koordinasi dengan sektor yang lebih luas termasuk dengan pemerintah daerah dan kelompok-kelompok masyarakat. Tentu hal ini berkonsekuensi akan membebani negara, baik dari sisi anggaran maupun sumber daya manusia. Namun di sisi lain, jika dikelola dengan benar, negara juga dapat menggunakan narasi dan pengalaman hidup mantan ISIS sebagai instrumen kontra-narasi melawan propaganda kelompok-kelompok “radikal” di Indonesia.

Post a Comment

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates