Menguak Secuplik Ideologi Terorisme

Ideologi-CRES-Flickr

Oleh Prihandono Wibowo
(Direktur Center for Radicalism and Extremism Studies)

Bulan Mei 2018 menjadi bulan kelam bagi bangsa Indonesia. Belum selesai kasus kericuhan rutan Mako Brimob oleh napi teroris, kita dikejutkan dengan upaya penyerangan teroris yang dilakukan terhadap petugas di sekitar Mako Brimob. Beberapa hari setelahnya, bangsa ini dikejutkan dengan peristiwa bom yang menyasar ke tiga tempat ibadah serta Polrestabes di Surabaya. Pada perkembangan selanjutnya, khalayak lagi-lagi dikejutkan dengan serangan teroris di Polda Riau. Dalam kurun sekitar satu minggu, sel-sel teroris beroperasi aktif di Indonesia.

Adaptasi Ideologi Terorisme
Terdapat beberapa hal yang patut dikaji dalam trend terorisme ini. Pertama adalah kelompok teroris menyasar polisi dalam target serangannya. Mengapa menyerang polisi? Dalam khazanah gerakan teroris kontemporer, terdapat dua orientasi musuh besar. Kategori pertama adalah far enemy/musuh jauh, di mana target musuh utama dalam kategori ini adalah Amerika Serikat (AS).

AS dengan kebijakan unilateralnya dipandang sebagai negara arogan yang bertanggung jawab atas kemunduran umat. Sehingga penyebab kemunduran umat dituduhkan kepada AS. Karena itu, untuk mengalahkan musuh, maka yang patut disasar adalah sumber musuh terbesar, yaitu AS. Analogi yang digunakan adalah jika ingin membunuh ular, maka yang perlu dilakukan adalah memukul kepalanya, bukan ekornya.

Kemudian kategori kedua adalah near enemy/musuh dekat. Dalam kategori musuh ini, yang menjadi target sasaran adalah rezim pemerintah lokal di masing-masing negara yang terdiri dari aparat keamanan, militer, dan personil pemerintah. “Musuh dekat” dianggap bertanggung jawab karena tidak melaksanakan idealisme beragama. Musuh dekat” ini juga dianggap sebagai “antek” dari “musuh jauh.” Namun, menurut kategori kedua ini, prioritas yang harus dilakukan adalah menghadapi “musuh dekat.”

Logikanya adalah bagaimana dapat mengalahkan “musuh jauh” jika “musuh yang dekat” saja tidak dapat dikalahkan? Nampaknya ISIS dan sel-selnya di berbagai negara lebih memilih orientasi “musuh dekat” dibandingkan “musuh jauh”. Hal ini nampak dari pengalaman ISIS di Timur Tengah yang lebih memilih target serangan pemerintah lokal Irak-Syria, aparat pemerintah, serta muslim Syiah. di Irak maupun Syria. Sebaliknya, ISIS tidak pernah terdengar melakukan aksi terorisme dengan sasaran objek-objek vital milik AS ataupun menyerang Israel.

Dalam konteks di Indonesia, sel yang berafiliasi dengan ISIS nampak mengadopsi orientasi “musuh dekat”, yaitu pihak aparat kepolisian. Terlebih pihak kepolisian selama ini bergerak aktif memburu kelompok-kelompok teroris, sehingga kelompok teroris memilih pihak kepolisian sebagai target serangan.

Hal kedua yang patut diperhatikan adalah mengapa kelompok teroris menyerang rumah ibadah? Jika kita mengamati tulisan atau tayangan produksi kelompok-kelompok teroris di Timur Tengah, seakan masih terdapat “mentalitas perang salib”. Kelompok teroris meyakini bahwa perang salib yang terjadi di Abad Pertengahan masih berlanjut di dalam era kontemporer, sehingga hal ini menjadi legitimasi untuk menyerang simbol-simbol kelompok agama lain.

Devin Springer, James Regens, David Edger dalam bukunya Islamic Radicalism and Global Jihad menjelaskan kecenderungan mentalitas ini pada kelompok-kelompok teroris kanan di Timur Tengah. Kecenderungan ini lantas direproduksi dengan publikasi maupun tayangan visual yang banyak tersebar dan mudah diakses di dunia maya. Mentalitas ini yang kemudian diadopsi oleh sel-sel teroris di Indonesia.

Hal ketiga yang patut diperhatikan adalah keikutsertaan satu keluarga, termasuk wanita dan anak-anak, dalam aksi terorisme di Surabaya. Hal ini menjadi pola baru dalam aksi terorisme. di mana para pelaku terorisme biasanya meninggalkan anak istrinya ketika melakukan aksi terorisme. Namun, dalam kasus terorisme Surabaya, sang teroris justru mengajak anak dan istri untuk bersama melakukan aksi terorisme.

Di Indonesia, penggunaan wanita sebagai pelaku terorisme telah ada sejak 2016, namun gagal setelah terlebih dahulu pelaku diamankan polisi. Kasus teror Surabaya merupakan kasus wanita pertama yang “berhasil” melaksanakan aksinya. Sedangkan kasus teror anak-anak menjadi kasus pertama yang terjadi di Indonesia.

Kecenderungan-kecenderungan ini selaras dengan diterbitkannya dokumen di antara pengikut ISIS pada 2015 yang menyebutkan bahwa wanita boleh berjihad. Kemudian dilanjutkan pada fatwa ISIS pada 2017 yang menyerukan wanita wajib mengangkat senjata di medan peperangan.

Pada awal 2018 juga ditemukan propaganda ISIS yang berisi tayangan wanita turut terjun dalam peperangan. Sedangkan untuk pelaku anak-anak, dalam berbagai publikasinya, ISIS telah menayangkan bagaimana mereka melatih anak-anak dan remaja menggunakan senjata serta mendoktrin anak-anak dengan terorisme ISIS.

Trend tersebut menunjukkan bagaimana ideologi terorisme, propaganda, maupun pola operasi kekerasan dari ISIS dapat “menginspirasi” sel-sel teroris yang ada di Indonesia. Jika mengutip perkataan Anthony Bubalo, “Every seed you plant in Indonesia grows,” ideologi terorisme semacam ini dapat menjangkiti siapa pun.

Pencegahan Ideologi Terorisme
Kelompok-kelompok teroris di Indonesia adalah sangat kecil yang tidak didukung mayoritas muslim Indonesia. Namun, tindakan teror mereka dapat menimbulkan distabilitas nasional. Hal yang terpenting untuk dilakukan jangka pendek saat ini adalah memberantas jaringan teroris. Namun, melumpuhkan, menembak, menangkap, atau memenjarakan teroris hanyalah langkah jangka pendek. Yang patut diupayakan bersama adalah bagaimana mencegah ideologi terorisme berkembang di Indonesia. Faktor ideologi adalah penyebab dominan bagaimana terorisme berkembang di Indonesia.

Penyebaran ideologi terorisme sangat dimungkinkan melalui media dunia maya. Di dunia maya, kita dapat menemukan beragam bentuk propaganda kekerasan dari ISIS dan kelompok teroris semacamnya. Propaganda dapat berbentuk publikasi dengan desain yang menarik ataupun berbentuk liputan dengan sinematika yang menarik. Kemudahan akses internet menyebabkan propaganda ideologi terorisme juga banyak tersebar melalui media sosial. Karena itu, harus ditemukan formulasi tepat bagaimana meng-counter ideologi terorisme. Jika tidak dirumuskan formula yang tepat, maka ideologi terorisme akan senantiasa menjadi ancaman bagi bangsa.

Ketegasan aparat, pengelolaan dunia maya yang tepat, program pencegahan maupun deradikalisasi yang efektif, serta dukungan dari berbagai elemen masyarakat menjadi kunci pencegahan perkembangan ideologi terorisme. Dengan kombinasi langkah tersebut, ideologi terorisme tidak akan menemukan lingkungan untuk berkembang. Hal inilah yang menjadi pekerjaan bersama berbagai elemen masyarakat.

Pernah tayang di: Qureta
Foto: Johnny Silvercloud

Post a Comment

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates