(Direktur Center for Radicalism and Extremism Studies)
Bulan Mei 2018
menjadi bulan kelam bagi bangsa Indonesia. Belum selesai kasus
kericuhan rutan Mako Brimob oleh napi teroris, kita dikejutkan dengan
upaya penyerangan teroris yang dilakukan terhadap petugas di sekitar
Mako Brimob. Beberapa hari setelahnya, bangsa ini dikejutkan dengan
peristiwa bom yang menyasar ke tiga tempat ibadah serta Polrestabes
di Surabaya. Pada perkembangan selanjutnya, khalayak lagi-lagi
dikejutkan dengan serangan teroris di Polda Riau. Dalam kurun sekitar
satu minggu, sel-sel teroris beroperasi aktif di Indonesia.
Adaptasi Ideologi
Terorisme
Terdapat beberapa
hal yang patut dikaji dalam trend terorisme ini. Pertama adalah
kelompok teroris menyasar polisi dalam target serangannya. Mengapa menyerang
polisi? Dalam khazanah gerakan teroris kontemporer, terdapat dua
orientasi musuh besar. Kategori pertama adalah far
enemy/musuh
jauh, di mana target musuh utama dalam kategori ini adalah Amerika
Serikat (AS).
AS dengan kebijakan
unilateralnya dipandang sebagai negara arogan yang bertanggung jawab
atas kemunduran umat. Sehingga penyebab kemunduran umat dituduhkan
kepada AS. Karena itu, untuk
mengalahkan musuh, maka yang patut disasar adalah sumber musuh
terbesar, yaitu AS. Analogi yang digunakan adalah jika ingin membunuh
ular, maka yang perlu dilakukan adalah memukul kepalanya, bukan
ekornya.
Kemudian kategori
kedua adalah near
enemy/musuh
dekat. Dalam kategori musuh ini, yang menjadi target sasaran adalah
rezim pemerintah lokal di masing-masing negara yang terdiri dari
aparat keamanan, militer, dan personil pemerintah. “Musuh dekat”
dianggap bertanggung jawab karena tidak melaksanakan idealisme
beragama. “Musuh dekat”
ini juga dianggap sebagai “antek” dari “musuh jauh.” Namun,
menurut kategori kedua ini, prioritas yang harus dilakukan adalah
menghadapi “musuh dekat.”
Logikanya adalah
bagaimana dapat mengalahkan “musuh jauh” jika “musuh yang
dekat” saja tidak dapat dikalahkan? Nampaknya ISIS dan sel-selnya
di berbagai negara lebih memilih orientasi “musuh dekat”
dibandingkan “musuh jauh”. Hal ini nampak dari
pengalaman ISIS di Timur Tengah yang lebih memilih target serangan
pemerintah lokal Irak-Syria, aparat pemerintah, serta muslim Syiah.
di Irak maupun Syria. Sebaliknya, ISIS tidak pernah terdengar
melakukan aksi terorisme dengan sasaran objek-objek vital milik AS
ataupun menyerang Israel.
Dalam konteks di
Indonesia, sel yang berafiliasi dengan ISIS nampak mengadopsi
orientasi “musuh dekat”, yaitu pihak aparat kepolisian. Terlebih
pihak kepolisian selama ini bergerak aktif memburu kelompok-kelompok
teroris, sehingga kelompok teroris memilih pihak kepolisian sebagai
target serangan.
Hal kedua yang patut
diperhatikan adalah mengapa kelompok teroris menyerang rumah ibadah? Jika kita mengamati
tulisan atau tayangan produksi kelompok-kelompok teroris di Timur
Tengah, seakan masih terdapat “mentalitas perang salib”. Kelompok
teroris meyakini bahwa perang salib yang terjadi di Abad Pertengahan
masih berlanjut di dalam era kontemporer, sehingga hal ini menjadi
legitimasi untuk menyerang simbol-simbol kelompok agama lain.
Devin Springer,
James Regens, David Edger dalam bukunya Islamic
Radicalism and Global Jihad
menjelaskan kecenderungan mentalitas ini pada kelompok-kelompok
teroris kanan di Timur Tengah. Kecenderungan ini lantas direproduksi
dengan publikasi maupun tayangan visual yang banyak tersebar dan
mudah diakses di dunia maya. Mentalitas ini yang kemudian diadopsi
oleh sel-sel teroris di Indonesia.
Hal ketiga yang
patut diperhatikan adalah keikutsertaan satu keluarga, termasuk
wanita dan anak-anak, dalam aksi terorisme di Surabaya. Hal ini
menjadi pola baru dalam aksi terorisme. di mana para pelaku terorisme
biasanya meninggalkan anak istrinya ketika melakukan aksi terorisme.
Namun, dalam kasus terorisme Surabaya, sang teroris justru mengajak
anak dan istri untuk bersama melakukan aksi terorisme.
Di Indonesia,
penggunaan wanita sebagai pelaku terorisme telah ada sejak 2016,
namun gagal setelah terlebih dahulu pelaku diamankan polisi. Kasus
teror Surabaya merupakan kasus wanita pertama yang “berhasil”
melaksanakan aksinya. Sedangkan kasus teror anak-anak menjadi kasus
pertama yang terjadi di Indonesia.
Kecenderungan-kecenderungan
ini selaras dengan diterbitkannya dokumen di antara pengikut ISIS
pada 2015 yang menyebutkan bahwa wanita boleh berjihad. Kemudian
dilanjutkan pada fatwa ISIS pada 2017 yang menyerukan wanita wajib
mengangkat senjata di medan peperangan.
Pada awal 2018 juga
ditemukan propaganda ISIS yang berisi tayangan wanita turut terjun
dalam peperangan. Sedangkan untuk pelaku anak-anak, dalam berbagai
publikasinya, ISIS telah menayangkan bagaimana mereka melatih
anak-anak dan remaja menggunakan senjata serta mendoktrin anak-anak
dengan terorisme ISIS.
Trend tersebut
menunjukkan bagaimana ideologi terorisme, propaganda, maupun pola
operasi kekerasan dari ISIS dapat “menginspirasi” sel-sel teroris
yang ada di Indonesia. Jika mengutip perkataan Anthony Bubalo, “Every
seed you plant in Indonesia grows,” ideologi terorisme semacam ini
dapat menjangkiti siapa pun.
Pencegahan
Ideologi Terorisme
Kelompok-kelompok
teroris di Indonesia adalah sangat kecil yang tidak didukung
mayoritas muslim Indonesia. Namun, tindakan teror mereka dapat
menimbulkan distabilitas nasional. Hal yang terpenting
untuk dilakukan jangka pendek saat ini adalah memberantas jaringan
teroris. Namun, melumpuhkan, menembak, menangkap, atau memenjarakan
teroris hanyalah langkah jangka pendek. Yang patut diupayakan bersama
adalah bagaimana mencegah ideologi terorisme berkembang di Indonesia.
Faktor ideologi adalah penyebab dominan bagaimana terorisme
berkembang di Indonesia.
Penyebaran ideologi
terorisme sangat dimungkinkan melalui media dunia maya. Di dunia
maya, kita dapat menemukan beragam bentuk propaganda kekerasan dari
ISIS dan kelompok teroris semacamnya. Propaganda dapat
berbentuk publikasi dengan desain yang menarik ataupun berbentuk
liputan dengan sinematika yang menarik. Kemudahan akses internet
menyebabkan propaganda ideologi terorisme juga banyak tersebar
melalui media sosial. Karena itu, harus
ditemukan formulasi tepat bagaimana meng-counter
ideologi terorisme. Jika tidak dirumuskan formula yang tepat, maka
ideologi terorisme akan senantiasa menjadi ancaman bagi bangsa.
Ketegasan aparat,
pengelolaan dunia maya yang tepat, program pencegahan maupun
deradikalisasi yang efektif, serta dukungan dari berbagai elemen
masyarakat menjadi kunci pencegahan perkembangan ideologi terorisme. Dengan kombinasi
langkah tersebut, ideologi terorisme tidak akan menemukan lingkungan
untuk berkembang. Hal inilah yang menjadi pekerjaan bersama berbagai
elemen masyarakat.
Post a Comment